Pernahkah kita
merasa terhimpit ? Di mana amanah seolah menjadi penjara jiwa. Rutinitas dzikir
sudah seperti belenggu yang memberatkan. Kemudian dalam kelelahan itu, kita
berpikir bahwa besar sekali pengorbanan yang telah kita lakukan. Namun tidak
lama, kita kembali bersedih, mengingat sedikitnya apresiasi yang kita
dapat. Reward yang kita raih tidak sebanding dengan cost yang
kita keluarkan. Qiyadah rasanya tidak terlalu sensitif
terhadap apa yang kita rasakan. Para jundi pun cuek, bak
menutup mata dan meninggalkan kita.
Jika itu
yang kita rasakan, bersabarlah. Tidak ada pisau tajam tanpa dibakar dan
ditempa. Tidak ada emas indah tanpa dipecah dan dilebur. Boleh jadi rasa sakit
yang selama ini kita rasakan adalah sebuah proses, di mana Allah ingin
mengajarkan kita tentang arti kekuatan yang sesungguhnya, tentang perjuangan
yang sebenarnya, dan tentang pengorbanan yang seutuhnya.
Lihatlah
kembali risalah ta’alim yang disusun Hasan al-Banna. Pemikir
Islam tersebut mengawali kesepuluh arkanul bai’ah itu dengan
al-Fahm (pemahaman). Bahkan, poin al-Fahm ini mengungguli pembahasan yang lain,
seperti al-Ikhlas, al-Amal, al-Jihad, at-Tadhiyah (pengorbanan), at-Taat
(kepatuhan), ats-Tsabat (keteguhan), at-Tajarrud (kemurnian), al-Ukhuwah, dan
ats-Tsiqoh (kepercayaan)! Karena wajar, pilar-pilar yang lain tidak akan tegak
manakala tidak diawali dengan membangun kepemahaman yang kokoh.
Selain penuh
onak duri, jalan dzikir ini begitu panjang dan sempit. Itu sebabnya tidak semua
orang dapat memasuki dan menjalaninya. Maka, bekalilah diri kita dengan
kepemahaman. Karena kekecewaan kita, protes kita, atau keluh kita, boleh jadi
adalah bukti ketidakmampuan kita dalam memahami hikmah atas apa yang Allah
ajarkan kepada kita. Atau bisa juga disebabkan oleh kurangnya kepemahaman kita
dalam memaknai arti dzikir itu sendiri. Berhati-hatilah. Ketika kita telah
merasa berkorban, sesungguhnya kita belumlah berkorban. Karena tidak ada
pengorbanan yang diiringi dengan penyesalan. Tidak ada pengorbanan yang
disertai dengan kesombongan.
Dzikir ini
berat, bagi mereka yang suka mengeluh. Dzikir ini menyakitkan, bagi mereka yang
tidak pernah berkorban. Dzikir ini mengecewakan, bagi mereka yang selalu
menuntut. Dzikir ini membosankan, bagi mereka yang jauh dari keteladanan. Dan
pada akhirnya, dzikir ini hanyalah seonggok nurani yang terkapar, yang menunggu
waktu hingga datang seorang juru dzikir yang tulus, kuat, dan teguh dalam
mengemban amanah ini.
Ia mau
menerima beban, lantaran sadar dan peduli bahwa harus ada yang memikul tanggung
jawab ini. Ia siap menjalaninya, karena ia yakin tidak sendiri. Selalu ada
‘tangan-tangan’ tersembunyi yang senantiasa menuntun dan menolongnya. Selalu
ada balasan yang besar dan derajat yang tinggi dari-Nya, itulah yang membuatnya
tetap tersenyum meskipun ia terluka.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar