RANGGEUYAN MUTIARA : (1) ulah ngewa ka ulama anu sajaman (2) ulah nyalahkeun kana pangajaran batur (3) ulah mariksa murid batur (4) ulah medal sila upama kapanah - KUDU ASIH KA JALMA NU MIKANGEWA KA MANEH - Pangersa Guru Almarhum

Jumat, 27 Desember 2013

MEMBANGUN KEPEMAHAMAN

H. Akbar

Pernahkah kita merasa terhimpit ? Di mana amanah seolah menjadi penjara jiwa. Rutinitas dzikir sudah seperti belenggu yang memberatkan. Kemudian dalam kelelahan itu, kita berpikir bahwa besar sekali pengorbanan yang telah kita lakukan. Namun tidak lama, kita kembali bersedih, mengingat sedikitnya apresiasi yang kita dapat. Reward yang kita raih tidak sebanding dengan cost yang kita keluarkan. Qiyadah rasanya tidak terlalu sensitif terhadap apa yang kita rasakan. Para jundi pun cuek, bak menutup mata dan meninggalkan kita.

Jika itu yang kita rasakan, bersabarlah. Tidak ada pisau tajam tanpa dibakar dan ditempa. Tidak ada emas indah tanpa dipecah dan dilebur. Boleh jadi rasa sakit yang selama ini kita rasakan adalah sebuah proses, di mana Allah ingin mengajarkan kita tentang arti kekuatan yang sesungguhnya, tentang perjuangan yang sebenarnya, dan tentang pengorbanan yang seutuhnya.


Lihatlah kembali risalah ta’alim yang disusun Hasan al-Banna. Pemikir Islam tersebut mengawali kesepuluh arkanul bai’ah itu dengan al-Fahm (pemahaman). Bahkan, poin al-Fahm ini mengungguli pembahasan yang lain, seperti al-Ikhlas, al-Amal, al-Jihad, at-Tadhiyah (pengorbanan), at-Taat (kepatuhan), ats-Tsabat (keteguhan), at-Tajarrud (kemurnian), al-Ukhuwah, dan ats-Tsiqoh (kepercayaan)! Karena wajar, pilar-pilar yang lain tidak akan tegak manakala tidak diawali dengan membangun kepemahaman yang kokoh.


Selain penuh onak duri, jalan dzikir ini begitu panjang dan sempit. Itu sebabnya tidak semua orang dapat memasuki dan menjalaninya. Maka, bekalilah diri kita dengan kepemahaman. Karena kekecewaan kita, protes kita, atau keluh kita, boleh jadi adalah bukti ketidakmampuan kita dalam memahami hikmah atas apa yang Allah ajarkan kepada kita. Atau bisa juga disebabkan oleh kurangnya kepemahaman kita dalam memaknai arti dzikir itu sendiri. Berhati-hatilah. Ketika kita telah merasa berkorban, sesungguhnya kita belumlah berkorban. Karena tidak ada pengorbanan yang diiringi dengan penyesalan. Tidak ada pengorbanan yang disertai dengan kesombongan.


Dzikir ini berat, bagi mereka yang suka mengeluh. Dzikir ini menyakitkan, bagi mereka yang tidak pernah berkorban. Dzikir ini mengecewakan, bagi mereka yang selalu menuntut. Dzikir ini membosankan, bagi mereka yang jauh dari keteladanan. Dan pada akhirnya, dzikir ini hanyalah seonggok nurani yang terkapar, yang menunggu waktu hingga datang seorang juru dzikir yang tulus, kuat, dan teguh dalam mengemban amanah ini.


Ia mau menerima beban, lantaran sadar dan peduli bahwa harus ada yang memikul tanggung jawab ini. Ia siap menjalaninya, karena ia yakin tidak sendiri. Selalu ada ‘tangan-tangan’ tersembunyi yang senantiasa menuntun dan menolongnya. Selalu ada balasan yang besar dan derajat yang tinggi dari-Nya, itulah yang membuatnya tetap tersenyum meskipun ia terluka.

Tidak ada komentar :