
Perjalanan
hidupku sangat panjang dan berliku hingga aku bisa seperti ini sekarang. Perjalanan itu bermula pada suatu pagi. Pagi itu ayahku sibuk hingga tidak bisa
menengok kebunnya yang luas. Aku diminta untuk menengoknya. Kebun itu berada
cukup jauh dari rumah.
Di tengah
perjalanan, aku melewati sebuah gereja. Kudengar sayup-sayup suara jamaah
gereja yang sedang khusyuk berdoa dan memuji tuhan mereka. Suara pujian dan doa
mereka demikian indah. Dalam hati aku berpikir, agama ini jauh lebih baik
daripada agama yang kuanut. Aku pun segera mampir ke sumber suara itu. Aku
masuk untuk melihat barang sejenak apa yang mereka lakukan. Kekagumanku semakin
bertambah ketika kulihat mereka berdoa. Aku sempat bertanya pada seseorang di
sana, “Dari mana asal agama ini?” Dia menjawab, “Dari negeri Syam.”
Setelah
beberapa saat berada di dalamnya, berat rasanya beranjak dari tempat itu.
Kuhabiskan pagi, siang, hingga sore hari itu di dalam gereja. Aku pulang tanpa
sempat lagi menengok kebun.
Sesampainya
di rumah, aku baru mengetahui bahwa ayahku sepanjang hari berkeliling-keliling
mencariku. Dia bertanya, “Kemana saja engkau, sesore ini baru pulang?” Aku
menjawab, “Aku tadi melewati sebuah gereja. Di dalamnya banyak orang yang
sedang berdoa. Aku pergi melihat mereka, dan aku sangat tertarik dengan agama mereka.
Agama itu lebih baik dari agama kita. Karena senang, aku baru pulang ketika
hari sudah sore.”
Ayahku
berkata, “Anakku, agama yang baru kau lihat tidak sebaik yang kau kira. Agamamu
dan nenek moyangmu jauh lebih baik.” Aku pun bersikeras bahwa agama mereka
lebih baik. Akhirnya ayahku marah. Aku kembali dikurungnya di rumah.
Selama
dikurung, aku selalu merenung tentang agama itu. Aku sempatkan mengirim pesan
kepada orang yang kutemui di gereja itu. Kukatakan, “Kalau ada rombongan yang
datang dari negeri Syam, tolong beritahu aku.”
Selang
beberapa waktu datang, serombongan orang Syam. Lalu beberapa orang gereja pun
datang ke rumahku untuk memberitahukan hal tersebut. Kukatakan kepada mereka,
“Nanti kalau mereka akan kembali ke negeri mereka, tolong beritahu aku.”
Singkat
cerita, datanglah orang memberitahukan bahwa orang-orang Syam itu akan segera
kembali ke negeri mereka. Aku segera mencari cara agar bisa keluar dari rumah.
Setelah berhasil keluar, aku segera bergabung dengan rombongan yang akan pergi
ke Syam tersebut. Berhari-hari kulalui perjalanan ke Syam. Sesampainya di sana,
kutanyakan kepada mereka, “Siapakah orang yang paling luas pengetahuannya
tentang agama ini?” Mereka menjawab, “Uskup.”
Segera aku
mendatanginya dan berkata kepadanya, “Aku ingin masuk agama ini. Oleh karena
itu, aku akan selalu bersamamu dan mengabdi di gereja, sehingga aku bisa
belajar agama ini.” Dia menjawab, “Masuklah.” Hanya beberapa waktu bersamanya,
aku sudah mengetahui bahwa dia adalah orang yang jahat. Dia memerintahkan orang
lain untuk membayar sedekah. Sedangkan sedekah-sedekah itu diambil dan
disimpannya untuk diri sendiri. Dia tidak memberikannya kepada orang-orang
miskin. Hingga harta yang terkumpul mencapai tujuh buah kotak berisi emas dan
perak. Aku sangat membencinya karena kejahatan itu.
Setelah
beberapa tahun bersamanya, Uskup itu meninggal dunia. Orang-orang Nasrani
berkumpul untuk menguburkannya. Kukatakan kepada mereka, “Sebenarnya Uskup ini
adalah orang yang jahat. Dia menyuruh kalian membayar sedekah, sedang sedekah
itu dikumpulkannya untuk diri sendiri.” Mereka tidak percaya dengan
perkataanku, “Mana buktinya?” Maka aku segera tunjukkan tempat disimpannya emas
dan perak itu. Mereka sangat terkejut dan langsung berkata, “Selamanya kami
tidak akan menguburkannya.” Mereka kemudian menyalib jenazah Uskup itu, lalu
melemparinya dengan batu.
Orang-orang
Nasrani kemudian memilih Uskup yang baru. Kulihat Uskup pengganti itu adalah
orang yang baik. Dia orang yang rajin beribadah dan sangat zuhud kepada harta
dunia. Aku sangat menghormati dan mencintainya. Aku hidup bersamanya beberapa
waktu, sampai saat datang ajal kepadanya. Saat itu kukatakan, “Selama ini aku
hidup bersamamu, mencintaimu lebih dari cintaku kepada yang lain. Sekarang aku
lihat ajalmu sudah dekat. Katakanlah kepada siapa lagi aku berguru
sepeninggalmu?” Beliau menjawab, “Anakku, demi Allah saat ini sudah
sangat jarang orang yang mengamalkan agama seperti kita. Orang-orang yang benar
sudah meninggal; yang tersisa adalah orang-orang yang sudah rusak dan mengubah
agama mereka. Hanya ada satu orang yang mengamalkan agama seperti kita, yaitu
seorang Nasrani di kota Al-Maushil. Namanya Fulan bin Fulan. Pergilah ke sana.”
Aku pun
segera pergi ke kota Al-Maushil. Aku menemui orang yang dimaksud guruku itu.
Kukatakan kepadanya, “Saat meninggal, guruku berwasiat agar aku menemui dan
berguru kepadamu.” Dia menjawab, “Baiklah. Tinggallah bersamaku.” Aku lihat dia
seorang yang baik. Persis dengan guru keduaku. Namun tak lama aku tinggal
bersamanya, dia pun sakit dan meninggal dunia. Sesaat sebelum meninggal dunia,
aku bertanya kepadanya, “Wahai guruku, dulu guruku yang kedua berwasiat
kepadaku untuk belajar kepadamu. Sekarang engkau sudah sakit parah. Kalau
engkau meninggal, ke manakah hendaknya aku berguru lagi?” Dia menjawab, “Aku
hanya mengetahui satu orang yang mengamalkan agama seperti kita. Dia tinggal di
kota Nashibin. Namanya Fulan bin Fulan. Pergilah ke sana, dan tinggallah
bersamanya.”
Setelah
guruku meninggal dunia dan dikuburkan, aku segera pergi ke Nashibin untuk
menemui orang yang ditunjuk tersebut. Setelah kKukatakan maksud kedatanganku,
dia pun mempersilahkaku tinggal bersamanya. Aku hidup bersamanya beberapa
waktu, karena dia pun kemudian meninggal dunia. Sesaat sebelum meninggal dunia,
kembali kutanyakan tentang guru berikutnya. Dia menunjuk seorang Nasrani di
kota Amuriah, sebuah propinsi Romawi.
Aku belajar
di Amuriah beberapa saat, karena guru baruku pun meninggal dunia. Di akhir
kehidupannya, dia berpesan, “Sekarang memang sudah sangat sedikit orang yang
baik dalam mengamalkan agamanya. Tapi jangan khawatir, sudah hampir tiba masa
diutusnya seorang nabi baru. Dia akan diutus di negeri Arab. Karena mendapatkan
pertentangan dari kaumnya, dia akan hijrah ke sebuah negeri yang diapit dua
gunung berbatu hitam. Di tengah dua gunung tersebut adalah lahan perkebunan
kurma yang sangat subur. Nabi itu mempunyai tanda-tanda yang bisa kau gunakan
untuk mengenalinya; dia tidak mau makan harta sedakah, tapi mau makan harta
hadiah, dan di punggungnya ada sebuah tanda kenabian.”
Begitu
mendengar kisah itu, aku merasa sangat rindu bertemu dengan nabi itu. Aku
berharap bisa segera pergi ke negeri Arab. Maka ketika datang rombongan
pedagang dari negeri Arab, aku langsung menemui mereka. Kukatakan kepada
mereka, “Bolehkah aku ikut ke negeri kalian? Imbalannya, aku akan memberi
kalian hewan-hewan ternakku.” Mereka pun menerima. Namun di tengah perjalanan,
mereka berkhianat. Mereka menjualku kepada seorang Yahudi. Mulai saat itu aku
menjadi seorang budak. Dia membawaku ke tempat tinggalnya untuk hidup dan
mengabdi kepadanya. Dia tinggal di sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon
kurma. Dalam hati, aku berharap bahwa tempat itu adalah tempat yang dimaksud
oleh guruku. Bahwa nabi baru itu akan berhijrah ke sana.
Sehari-hari
aku sibuk dengan banyak pekerjaan seorang budak. Aku tidak banyak mendengar
kabar dunia luar. Termasuk kabar yang tersiar di Mekah tentang seseorang yang
mengaku sebagai nabi. Saat yang kutunggu-tunggu itu rupanya sudah tiba. Saat
itu aku sedang bekerja di atas pohon kurma, sedangkan tuanku berada di bawah.
Ketika datang seseorang mengabarkan bahwa nabi itu telah tiba, aku hampir
terjatuh saking kaget dan bahagianya. Kutanyakan kepada tuanku, “Benarkah nabi
itu telah tiba?” Tuanku marah dan menamparku, “Apa urusanmu dengan datangnya
nabi itu? Ayo, lanjutkan kerjamu.” Aku menjawab, “Tidak ada apa-apa. Aku
hanya ingin tahu saja.”
Baru
sebentar nabi itu datang, aku sudah ingin segera menemuinya. Saat itu aku sudah
memiliki kurma. Aku ingin memberikan kurma itu kepada nabi baru itu. Aku
menemuinya yang saat itu masih berada di Quba’, belum sampai ke Madinah.
Kukatakan kepadanya, “Aku mendengar bahwa engkau adalah orang yang baik. Engkau
juga mempunyai banyak teman yang sangat membutuhkan bantuan. Aku ingin mensedekahkan
kurma-kurma ini.” Aku meletakkan kurma-kurma itu di hadapannya, tapi beliau
malah berkata kepada para sahabatnya, “Makanlah kurma-kurma ini.” Sedangkan
beliau sendiri tidak makan sedikitpun. Dalam hati aku berkata, “Salah satu
tanda kenabiannya sudah kubuktikan.”
Selang
beberapa hari, nabi itu melanjutkan perjalanan ke Madinah. Aku mengumpulkan
kurma lagi untuk diberikan kepadanya, “Kemarin aku melihat engkau tidak
berkenan memakan sedekah. Sekarang aku ingin memberimu kurma-kurma ini sebagai
hadiah.” Mendengar hal itu, beliau pun memakannya. Dalam hati aku berkata,
“Sudah dua tanda kenabiannya yang kulihat.”
Suatu hari,
ada seorang penduduk Madinah yang meninggal dunia. Kulihat nabi itu ikut
mengantarnya ke kuburan Baqi’ul Gharqad. Beliau menutupi tubuhnya dengan dua
selendang dari kain yang sangat kasar. Aku menemui dan mengucapkan salam
kepadanya. Setelah itu aku mundur ke arah belakang beliau. Aku bermaksud
menunggu kainnya tersingkap hingga bisa kulihat tanda kenabian yang tertulis di
punggung beliau. Seakan merasakan hal tersebut, beliau langsung menyingkap
kainnya sehingga dengan sangat jelas kulihat tanda kenabian itu di punggungnya.
Aku menangis sejadi-jadinya, dan langsung memeluk dan mencium beliau. Akhirnya
kutemui juga nabi yang selama ini kutunggu-tunggu dan kucari-cari.
Langsung
terbayang dalam benakku saat aku meninggalkan ayah yang sangat mencintaiku.
Saat aku hidup berpindah-pindah dari satu guru ke guru yang lain di
negeri-negeri yang berjauhan. Saat kehilangan harta-hartaku. Saat aku dihinakan
menjadi seorang budak yang diperjual-belikan, yang dipaksa bekerja bagaikan
hewan ternak. Namun rasanya, semua itu hilang begitu saja ketika kubuktikan
bahwa orang yang ada di depanku adalah nabi yang selama ini aku cari dan
tunggu.
Sekarang aku menjadi salah seorang sahabatnya. Aku sangat mencintainya, seperti perasaan seluruh pengikutnya. Beliau adalah pemimpin agung yang sangat menyayangi kami. Karena sayangnya, beliau meminta untuk segera menebus diri agar tidak lagi menjadi seorang budak. Beliau membantuku mengumpulkan harta untuk tebusan. Sekarang aku seorang Muslim yang Merdeka. Seorang sahabat Rasulullah saw. Aku kini dikenal dengan nama Salman Al-Farisi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar