Seberapa sering bumi pertiwi disapa bencana? Alam ini, dan semua kejadiannya, ada dalam genggaman-Nya: penciptaan dan pembinasaannya, hidup dan matinya, utuh dan lantaknya. Nun di atas sana, pena telah diangkat, catatan pun sudah mengering. Tak ada yang sia-sia. Tak ada yang di luar agenda. Semua peristiwa datang dan pergi dalam skenario yang rapi, membawa hikmah bagi sebagian, dan membawa azab bagi sebagian yang lain. Di tengah rangkaian bala`, mari tunduk sejenak: ada di golongan mana kita berada?
Dari dua ayat yang mulia itu, berderet pesan bisa dirangkum. Di antaranya: rupanya ada orang berputus asa karena gagal mendapat sesuatu. Dan ada pula yang terlampau gembira-bahkan menjadi angkuh- karena berhasil mendapat sesuatu. Sehingga pada titik tertentu, musibah itu perlu dikirim, untuk meluruskan yang bengkok, menundukkan yang congkak, membersihkan yang dosa, dan menyadarkan yang lena. Ikhtiar itu wajib. Antisipasi penanggulangan bencana juga harus dibuat. Tapi pada akhirnya, kita ingin sampai pada taraf kesadaran: sejatinya, tugas kita bukanlah menghindari mati sambil menggenggam dunia, tapi menata hidup untuk menjemput maut dengan jalan terindah.
Dulu, Nabi Musa disambangi Allah SWT di puncak Sinai. Berdialog secara langsung. Karenanya, ia dijuluki kalimullah. Nabi Muhammad SAW lebih dahsyat lagi, di minta sowan ke arsy di langit ke tujuh. Menerima wahyu shalat yang terangkum dalam dialog nan abadi. Ini sekadar untuk membandingkan saja, kita ini bukan siapa siapa. Hanya sahaya penuh dosa, tak kurang dan tak lebih. Jangan menunggu Jibril menghampir di tepi jalan. Maka cara Allah mengirim pesan pun berbeda, misalnya dengan musibah. Seperti kali ini, bumi nusantara bertutur lagi. Dengan gunung yang menggelegar, alam yang gemeretak, dan banjir yang meruah rinai. Tidak sangat parah retak gempanya, tapi merata getarannya di bumi Jateng – Jogja. Ini baru pesan singkat. Isyarat pendahuluan. Teguran yang teramat sopan. Tapi untuk apa?
Di sinilah serunya. Bahwa bagi masing-masing individu, musibah yang sama tak mesti memiliki tujuan yang seragam. Bagaimana seseorang bereaksi terhadap pesan Tuhan, di situlah derajatnya ditentukan dengan akurat. Sampai-sampai Nabi bersabda; bahwa manusia itu seperti tambang emas, yang akan tampak nilainya dengan dibakar. Ini sebenarnya tidak hanya berlaku pada musibah. Tapi juga segala yang kita temui di mayapada ini. Lihat cerita Allah tentang nyamuk di surat al Baqarah. Orang-orang beriman nyaman berujar; ini sesuatu yang haq dari Allah. Tapi manusia kufur terkesiap congkak, apa maksud Allah membuat permisalan yang seperti ini? Dengan peristiwa yang sama, banyak orang mendapat hidayah, tapi banyak pula yang tersesat menjauh. Hadaanallah wa iyyakum
Tidak ada komentar :
Posting Komentar