RANGGEUYAN MUTIARA : (1) ulah ngewa ka ulama anu sajaman (2) ulah nyalahkeun kana pangajaran batur (3) ulah mariksa murid batur (4) ulah medal sila upama kapanah - KUDU ASIH KA JALMA NU MIKANGEWA KA MANEH - Pangersa Guru Almarhum

Minggu, 23 Maret 2014

KISAH HIDUP TERINDAH

Manaqib -
“Makna senyuman tidak akan sempurna tanpa pernah bersentuhan dengan makna air mata, begitu juga sebaliknya. Indahnya kehidupan tidaklah terletak pada seberapa lama kita berada dalam zona yang menyenangkan, melainkan pada nilai yang kita pegang teguh dan kita capai dalam setiap episode, termasuk episode yang melambangkan penderitaan.”


Kisah Nabi Yusuf dinyatakan Allah sebagai kisah terindah (ahsan al-qashash) karena episode kehidupannya sangatlah lengkap mulai dari ujian menuju pujian, dari cinta bertepuk sebelah tangan sampai cinta bak gayung bersambut, dari terhina menjadi mulia, serta mulai dari hal yang biasa menjadi hal luar biasa.



Kisahnya mengajarkan kita untuk tidak berlebihan dalam bangga ketika mendapat anugerah serta tidak terlarut dalam derita ketika mendapatkan musibah. Banyak sekali kenikmatan yang berujung derita, sebagaimana tidak sedikit derita yang berujung kenikmatan. Kisah utuh kehidupan Nabi Yusuf menjadi bukti benarnya kesimpulan ini.



Yusuf kecil yang tumbuh tampan dan sopan mendapatkan cinta yang sempurna dari ayahnya, Nabi Ya’qub. Sangat baik seorang ayah mencintai anaknya, namun tak lama kemudian Yusuf dibuang ke sumur oleh saudara-saudaranya yang iri dengan banyak kelebihan yang dimiliki Yusuf.



Masuk ke dalam sumur adalah musibah yang menjadi awal “nasib baik” bagi Yusuf ketika rombongan kerajaan menimba air sumur dan kemudian mendapatkan Yusuf untuk selanjutnya dibawa ke istana. Hidup di istana sebagai kenikmatan ternyata menjadi penyebab Yusuf harus masuk ke penjara karena tidak mau melayani keinginan maksiat Zulaikha, sang ibu negara.



Hidup di penjara secara umum dianggap sebagai musibah, namun di sinilah Allah menganugerahkan ilmu ta’wil mimpi kepada Yusuf untuk kemudian membantu raja menjelaskan makna mimipinya yang menjadi kenyataan. Dari penjara inilah Yusuf menapaki jalan kekuasaan mulai dari sebagai menteri sampai menjadi penguasa.



Pasang surut kehidupan adalah bagai warna pelangi yang indah dipandang, namun hanya oleh orang yang memiliki daya pandang bagus yang mampu menikmati secara utuh keindahan pelangi itu (rainbow outlook). Orang yang mata hatinya rabun, apalagi buta, tidak akan mampu menjalani skenario kehidupan yang tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, sehingga yang keluar dari mulutnya adalah sumpah serapah dan keluhan panjang tanpa koma dan titik.



Berdiam diri secara pasif dan bersedia untuk menerima keadaan apa adanya memang bukan pilihan sikap yang baik, namun lebih tidak baik lagi adalah menyikapinya secara negatif yang menyiksa diri dan menyiksa orang lain tanpa upaya untuk besikap konstruktif.


Negara kita tercinta ini sebentar lagi akan menggelar perhelatan besar bernama Pemilihan Umum (Pemilu), yang merupakan kompetisi terakbar meraih jabatan dan kekuasaan di negeri ini. Mulai dari jabatan sebagai anggota DPRD, DPD sampai pada jabatan Presiden dan Wakil Presiden.



Warna warni bendera partai yang selalu diletakkan di atas begitu indah dipandang, namun sayangnya suara-suara orang yang di bawah bendera itu seringkali terdengar sumbang ketika harus mengomentari warna bendera partai lain. Harusnya, suara-suara itu betapapun berbeda tetap dalam bingkai semangat tunggal, yakni semangat bendera merah putih yang ukurannya lebih besar dan letaknya berada lebih tinggi di atas bendera-bendera partai yang ada.



Kegaduhan suara menjelang pemilu berlangsung bisa saja menjadi sinyal besarnya potensi konflik yang terpendam, berupa ketidaksiapan untuk menjadi kelompok yang kurang beruntung. Padahal, mengikuti alur kisah terindah Yusuf di atas, ketidakberuntungan saat ini sangat mungkin menjadi pintu gerbang keberuntungan pada masa yang akan datang.



Sebaliknya, keberuntungan politik saat ini juga mungkin menjadi pintu gerbang kehancuran pada masa yang akan datang, terlebih ketika kemenangan dan keberuntungan itu didasarkan pada kecurangan dan ketidakprofesionalan.



Potensi konflik seperti ini harus diantisipasi dan sebisanya diminimalisir serta dilakukan tindakan preventif. Caranya, pertama, sosialisasi kesadaran publik bahwa kebersamaan tidak mensyaratkan keseragaman dalam segala hal. Membiarkan orang lain memiliki kebebasan memilih yang dikehendaki adalah perbuatan memanusiakan manusia (humanization) yang sangat terhormat dan terpuji.



Kedua, para elite partai, tokoh masyarakat dan tokoh agama harus menahan diri untuk memberikan komentar berlebihan yang memungkinkan pihak lain tersinggung dan tersakiti. Ketiga, semua pihak yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keamanan harus bertindak tegas tanpa diskriminasi atas setiap proses yang melanggar aturan yang disepakati.



Ketika semua berjalan alami sesuai dengan aturan, maka apapun hasilnya harus dipersepsi sebagai takdir yang terbaik pada masanya yang akan terus mengalir untuk menjalani takdir-takdir berikutnya yang tidak mungkin diduga masa, bentuk dan perubahannya oleh siapapun.



Pada poin ini, menarik untuk mengingat kembali kaidah kehidupan: “Apapun yang tercatat sebagai hakmu, akan datang menjadi milikmu walau engkau berada dalam posisi yang sangat lemah, sementara apapun yang bukan menjadi hakmu tidak akan pernah datang menjadi milikmu walaupun engkau berkuasa dan berusaha mati-matian untuk memperolehnya.”



Menginjak orang lain sebagai upaya meninggikan posisi diri sendiri, menghina orang lain sebagai usaha rekayasa kesan kemuliaan diri dan menghambat jalan orang lain demi melebarkan jalannya sendiri seringkali merupakan cara yang berefek pantul semisal peribahasa “senjata makan tuan.”



Hati yang sehat akan selalu berpihak kepada mereka yang nyata-nyata tertindas dan terdzolimi, bukan pada mereka yang mencitrakan dirinya sebagai yang tertindas dan terdzolimi, terlebih lagi bukan kepada mereka yang nyata-nyata menindas dan mendzolimi. Rakyat Indonesia jelas masih memiliki telinga, mata dan hati yang selalu berpihak kepada kebajikan dan kebenaran.



Bagian akhir kisah Nabi Yusuf menarik untuk diteladani, yakni ketika saudara-saudaranya yang membuang Yusuf ke dalam sumur semasa kecil bertemu dengan Nabi Yusuf di istana, Nabi Yusuf memaafkan sauadara-saudaranya dan tidak mengungkit kesalahan masa lalu.


Andaikan semua pemimpin, tokoh dan segenap anak bangsa serempak fokus menata dan menatap masa depan dengan kebersamaan dan cinta maka sangat mungkin Indonesia menjadi mercusuar dunia, sebagaimana diungkapkan oleh Bung Karno.



Bahwa pelanggaran hukum yang telah terjadi harus tetap diproses adalah suatu yang positif dan obyektif, tetapi mengungkit kesalahan masa lalu untuk dijadikan klaim dan stigma negatif pada orang lain adalah sesuatu yang negatif dan subyektif. Memaklumi dan memaafkan adalah akhlak indah yang diwariskan nenek moyang.



Janganlah seperti kisah kayu yang mengeluh karena dilukai oleh paku. Pakupun beralasan tidak sengaja, melainkan karena kepalanya ada yang memukul. Palu sebagai alat pemukul tidak terima disalahkan karena tidak punya kemampuan kecuali ada tangan yang menggerakkan.


Ternyata tangan itu adalah tangan calon legislatif dan calon presiden yang mau memasang fotonya di pohon-pohon yang juga tidak mau disalahkan dengan alasan karena aturannya belum jelas. Saling menyalahkan adalah lingkaran setan yang tak mengenal ujung, menikmati jalan hidup sesuai aturan akan menjadikan kisah hidup kita menjadi kisah terindah.

Tidak ada komentar :