“Makna senyuman tidak akan sempurna tanpa pernah bersentuhan dengan makna air mata, begitu juga sebaliknya. Indahnya kehidupan tidaklah terletak pada seberapa lama kita berada dalam zona yang menyenangkan, melainkan pada nilai yang kita pegang teguh dan kita capai dalam setiap episode, termasuk episode yang melambangkan penderitaan.”
Kisah Nabi
Yusuf dinyatakan Allah sebagai kisah terindah (ahsan al-qashash) karena episode
kehidupannya sangatlah lengkap mulai dari ujian menuju pujian, dari cinta
bertepuk sebelah tangan sampai cinta bak gayung bersambut, dari terhina menjadi
mulia, serta mulai dari hal yang biasa menjadi hal luar biasa.
Kisahnya
mengajarkan kita untuk tidak berlebihan dalam bangga ketika mendapat anugerah
serta tidak terlarut dalam derita ketika mendapatkan musibah. Banyak sekali
kenikmatan yang berujung derita, sebagaimana tidak sedikit derita yang berujung
kenikmatan. Kisah utuh kehidupan Nabi Yusuf menjadi bukti benarnya kesimpulan
ini.
Yusuf kecil
yang tumbuh tampan dan sopan mendapatkan cinta yang sempurna dari ayahnya, Nabi
Ya’qub. Sangat baik seorang ayah mencintai anaknya, namun tak lama kemudian
Yusuf dibuang ke sumur oleh saudara-saudaranya yang iri dengan banyak kelebihan
yang dimiliki Yusuf.
Masuk ke
dalam sumur adalah musibah yang menjadi awal “nasib baik” bagi Yusuf ketika rombongan
kerajaan menimba air sumur dan kemudian mendapatkan Yusuf untuk selanjutnya
dibawa ke istana. Hidup di istana sebagai kenikmatan ternyata menjadi penyebab
Yusuf harus masuk ke penjara karena tidak mau melayani keinginan maksiat
Zulaikha, sang ibu negara.
Hidup di
penjara secara umum dianggap sebagai musibah, namun di sinilah Allah
menganugerahkan ilmu ta’wil mimpi kepada Yusuf untuk kemudian membantu raja
menjelaskan makna mimipinya yang menjadi kenyataan. Dari penjara inilah Yusuf
menapaki jalan kekuasaan mulai dari sebagai menteri sampai menjadi penguasa.
Pasang surut
kehidupan adalah bagai warna pelangi yang indah dipandang, namun hanya oleh
orang yang memiliki daya pandang bagus yang mampu menikmati secara utuh
keindahan pelangi itu (rainbow outlook). Orang yang mata hatinya rabun, apalagi
buta, tidak akan mampu menjalani skenario kehidupan yang tidak sesuai dengan
keinginan hawa nafsunya, sehingga yang keluar dari mulutnya adalah sumpah
serapah dan keluhan panjang tanpa koma dan titik.
Berdiam diri
secara pasif dan bersedia untuk menerima keadaan apa adanya memang bukan
pilihan sikap yang baik, namun lebih tidak baik lagi adalah menyikapinya secara
negatif yang menyiksa diri dan menyiksa orang lain tanpa upaya untuk besikap
konstruktif.
Negara kita
tercinta ini sebentar lagi akan menggelar perhelatan besar bernama Pemilihan
Umum (Pemilu), yang merupakan kompetisi terakbar meraih jabatan dan kekuasaan
di negeri ini. Mulai dari jabatan sebagai anggota DPRD, DPD sampai pada jabatan
Presiden dan Wakil Presiden.
Warna warni
bendera partai yang selalu diletakkan di atas begitu indah dipandang, namun
sayangnya suara-suara orang yang di bawah bendera itu seringkali terdengar
sumbang ketika harus mengomentari warna bendera partai lain. Harusnya, suara-suara
itu betapapun berbeda tetap dalam bingkai semangat tunggal, yakni semangat
bendera merah putih yang ukurannya lebih besar dan letaknya berada lebih tinggi
di atas bendera-bendera partai yang ada.
Kegaduhan
suara menjelang pemilu berlangsung bisa saja menjadi sinyal besarnya potensi
konflik yang terpendam, berupa ketidaksiapan untuk menjadi kelompok yang kurang
beruntung. Padahal, mengikuti alur kisah terindah Yusuf di atas,
ketidakberuntungan saat ini sangat mungkin menjadi pintu gerbang keberuntungan
pada masa yang akan datang.
Sebaliknya,
keberuntungan politik saat ini juga mungkin menjadi pintu gerbang kehancuran
pada masa yang akan datang, terlebih ketika kemenangan dan keberuntungan itu
didasarkan pada kecurangan dan ketidakprofesionalan.
Potensi
konflik seperti ini harus diantisipasi dan sebisanya diminimalisir serta
dilakukan tindakan preventif. Caranya, pertama, sosialisasi kesadaran publik
bahwa kebersamaan tidak mensyaratkan keseragaman dalam segala hal. Membiarkan
orang lain memiliki kebebasan memilih yang dikehendaki adalah perbuatan
memanusiakan manusia (humanization) yang sangat terhormat dan terpuji.
Kedua, para
elite partai, tokoh masyarakat dan tokoh agama harus menahan diri untuk
memberikan komentar berlebihan yang memungkinkan pihak lain tersinggung dan
tersakiti. Ketiga, semua pihak yang berkaitan dengan penegakan hukum dan
keamanan harus bertindak tegas tanpa diskriminasi atas setiap proses yang
melanggar aturan yang disepakati.
Ketika semua
berjalan alami sesuai dengan aturan, maka apapun hasilnya harus dipersepsi
sebagai takdir yang terbaik pada masanya yang akan terus mengalir untuk
menjalani takdir-takdir berikutnya yang tidak mungkin diduga masa, bentuk dan
perubahannya oleh siapapun.
Pada poin
ini, menarik untuk mengingat kembali kaidah kehidupan: “Apapun yang tercatat
sebagai hakmu, akan datang menjadi milikmu walau engkau berada dalam posisi
yang sangat lemah, sementara apapun yang bukan menjadi hakmu tidak akan pernah
datang menjadi milikmu walaupun engkau berkuasa dan berusaha mati-matian untuk
memperolehnya.”
Menginjak
orang lain sebagai upaya meninggikan posisi diri sendiri, menghina orang lain
sebagai usaha rekayasa kesan kemuliaan diri dan menghambat jalan orang lain
demi melebarkan jalannya sendiri seringkali merupakan cara yang berefek pantul
semisal peribahasa “senjata makan tuan.”
Hati yang
sehat akan selalu berpihak kepada mereka yang nyata-nyata tertindas dan
terdzolimi, bukan pada mereka yang mencitrakan dirinya sebagai yang tertindas
dan terdzolimi, terlebih lagi bukan kepada mereka yang nyata-nyata menindas dan
mendzolimi. Rakyat Indonesia jelas masih memiliki telinga, mata dan hati yang
selalu berpihak kepada kebajikan dan kebenaran.
Bagian akhir
kisah Nabi Yusuf menarik untuk diteladani, yakni ketika saudara-saudaranya yang
membuang Yusuf ke dalam sumur semasa kecil bertemu dengan Nabi Yusuf di istana,
Nabi Yusuf memaafkan sauadara-saudaranya dan tidak mengungkit kesalahan masa
lalu.
Andaikan
semua pemimpin, tokoh dan segenap anak bangsa serempak fokus menata dan menatap
masa depan dengan kebersamaan dan cinta maka sangat mungkin Indonesia menjadi
mercusuar dunia, sebagaimana diungkapkan oleh Bung Karno.
Bahwa
pelanggaran hukum yang telah terjadi harus tetap diproses adalah suatu yang
positif dan obyektif, tetapi mengungkit kesalahan masa lalu untuk dijadikan
klaim dan stigma negatif pada orang lain adalah sesuatu yang negatif dan
subyektif. Memaklumi dan memaafkan adalah akhlak indah yang diwariskan nenek
moyang.
Janganlah
seperti kisah kayu yang mengeluh karena dilukai oleh paku. Pakupun beralasan
tidak sengaja, melainkan karena kepalanya ada yang memukul. Palu sebagai alat
pemukul tidak terima disalahkan karena tidak punya kemampuan kecuali ada tangan
yang menggerakkan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar