RANGGEUYAN MUTIARA : (1) ulah ngewa ka ulama anu sajaman (2) ulah nyalahkeun kana pangajaran batur (3) ulah mariksa murid batur (4) ulah medal sila upama kapanah - KUDU ASIH KA JALMA NU MIKANGEWA KA MANEH - Pangersa Guru Almarhum

Minggu, 06 April 2014

AKHLAKMU ADALAH IKLANMU

Manaqib - Bermacam cara orang mengiklankan dirinya kepada publik untuk berbagai motif dan tujuan. Paling lazim adalah untuk “memenangkan” kompetisi menarik hati rakyat dalam kontes perebutan kepemimpinan politik.


Menyebutkan prestasi, nasab atau geneologi keluarga, stratifikasi sosial, kelompok/organisasi dan pengungkapan janji adalah cara yang sangat umum dipakai. Ada yang berhasil meraih simpati publik walaupun akhirnya harus mengecewakan mereka karena ketidaksesuaian harapan yang dibentuk oleh iklan dirinya dengan kenyataan.



Ada pula yang awalnya tidak berhasil karena kalah perang iklan, namun pada masa berikutnya terpilih karena kontinyuitas attitude positif yang dibangun sesuai dengan iklannya yang sederhana dan apa adanya. Ada pula yang tidak pernah berhasil karena tidak mengiklankan diri.


Iklan adalah kata serapan dari bahasa Arab i’lan yang bermakna mengumumkan. Namun, tidak semua iklan itu mengumumkan secara jujur apa adanya, seringkali telah mengalami sentuhan make up dan mark up yang merekayasa sesuatu lebih dari apa yang sesungguhnya.


Inilah yang me”nyihir” masyarakat publik untuk terkesima pada awal perkenalannya untuk kemudian kecewa dan patah hati di persimpangan jalan berikutnya. Kemampuan rasio masyarakat terhijabi untuk melihat yang sesungguhnya, dan baru tersadar ketika fakta kontradiktif menyeruak ke media massa menjadi perbincangan yang memilukan.


Adalah fakta empiris bahwa ada partai politik yang menyuarakan jargon anti-korupsi tetapi banyak oknum-oknumnya yang diproses hukum kasus korupsi. Juga lembaga yang menyuarakan keadilan hukum ternyata banyak memiliki oknum terlibat kasus ketidakadilan hukum.


Demikian pula wakil rakyat dan pemimpin yang berkampanye tentang kesejahteraan rakyat tapi tertangkap tangan kasus suap dan lainnya. Padahal pekerjaan aslinya adalah hanya menyejahterakan dirinya dan keluarganya. Akhirnya, iklan yang disampaikan di berbagai media mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat.


Sepertinya kita harus lebih banyak membaca perilaku keseharian calon-calon pemimpin dan wakil rakyat yang akan dipilih pada masa yang akan datang. Perilaku hidup keseharian seseorang merupakan “iklan” (tak tertulis) yang sesungguhnya tentang dirinya.


Semua orang yang punya mata, telinga dan mulut akan bercerita fakta yang sesungguhnya tentang tabiat, perilaku dan ucapan seseorang. Track record yang tertanam dalam benak masyarakat seringkali lebih dahsyat dibandingkan iklan gambar dan tulisan di pinggir jalan raya yang banyak mengotori estetika lingkungan bumi pertiwi kita.


Indahnya akhlak Nabi Muhammad, halusnya pekerti Nabi Isa, lembutnya rasa Sang Budha Sidharta Gautama, besarnya kasih sayang Ibu Theresa, sabar dan bersahajanya Nelson Mandela adalah contoh iklan perilaku keseharian yang menjadikannya dicinta dan dipilih sebagai panutan sepanjang masa, bukan hanya untuk masa lima tahun atau sepuluh tahun.

Benar kata para bijak: “Akhlakmu adalah iklanmu yang sesungguhnya.” Pena sejarah tak pernah berhenti menuliskan tokoh dan peristiwa untuk menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi generasi setelahnya.


Uraian di atas tidak menegasikan urgensi iklan. George Blech dan Michael Blech dalam bukunya Advertising and Promotion an Integrated Marketing Communications Perspective dan juga Steve Lance dan Jeff Woll dalam bukunya The Little Blue Book of Advertising menggebu-gebu menjelaskan perlunya iklan dan tips penting membuat suatu iklan yang menarik.


Namun pada akhirnya, konsumen atau masyarakat umum akan menilainya berdasarkan kualitas faktual yang tersajikan. Etika atau akhlak keseharian benar-benar menjadi modal utama yang paling shahih dan tak menipu untuk dijadikan dasar mencalonkan diri untuk suatu jabatan atau pekerjaan.


Mencalonkan atau mengajukan diri untuk suatu jabatan bukanlah suatu larangan, asalkan memiliki kualitas dan kapabilitas. Al-Qur’an (QS 12:55) memberikan sinyal tentang hal ini pada deskripsi kisah Nabi Yusuf yang berkata pada Raja: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan lagi berpengetahuan.”

“Pandai menjaga” adalah kualitas moral, sementara “berpengetahuan” adalah kapabilitas intelektual. Pada kisah Nabi Musa dan keluarga Nabi Syu’aib (QS 28: 26) disebutkan dua sifat lainnya untuk kelayakan dipilih, yaitu kuat fisik (qawiyy) dan jujur terpercaya (amiin).


Disebutkannya kemampuan menjaga amanah sebelum kepemilikan pengetahuan bermakna bahwa kualitas moral, personalitas, atau attitude perlu mendapatkan perhatian lebih besar dari pada kualitas intelektual karena ia akan menjaga eksistensi kepercayaan yang menjadi dasar utama keharmonisan hubungan pemimpin dan rakyat. Kecerdasan intelektual yang tidak diimbangi karakter diri yang baik akan melahirkan kejenuhan, kebosanan dan akhirnya ketidakpercayaan massif di kalangan masyarakat.


Saatnya untuk lebih peduli pada aspek-aspek moral dan spiritual untuk memperbaiki kualitas kepemimpinan bangsa ke depan. Menyatakan bahwa moral dan spiritual (keberagamaan) adalah suatu yang privat atau bersifat pribadi adalah benar sepanjang seseorang itu sendirian dan tak bersentuhan dengan masyarakat lainnya.


Hidup di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan tinggal di negara yang beragama (walau bukan negara agama) “memaksa” kita mempertimbangkan aspek ini dalam proses kepemimpinan dan pembangunan masyarakat.


Karena itu, mengukur kemampuan dan kepatutan diri untuk suatu jabatan/kepemimpinan adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan ketika kita masih menganggap jabatan sebagai amanah dan jalan pengabdian hidup. Orang-orang tidak memiliki pengetahuan (knowledge) dan keahlian (skill) serta mereka yang sudah terkenal cacat moral atau memiliki rekam jejak negatif tidak memiliki kelayakan untuk mencalonkan dan dicalonkan sebagai pemimpin dan wakil rakyat.


Keterpilihan mereka hanya akan menjadi bumerang dan pemantik sumbu konflik serta “bom waktu” yang memporakporandakan etika politik berbangsa dan bernegara. Sabda Rasulullah Muhammad “jangan berikan kekuasaan kepada yang memintanya” berlaku pada mereka yang tidak memiliki kualitas moral dan kapabilitas inteletual tetapi memiliki nafsu politik tinggi sampai menghalalkan sejumlah cara terlarang.


Kesadaran publik atas urgensi konsiderasi nilai moral dan spiritual pada calon pemimpin dan wakil rakyat harus ditingkatkan, disuarakan dan disosialisasikan secara intensif sebagaimana profit and proper test yang sudah sering dijalankan perlu dipertegas dan dipaparkan secara terbuka. Kuasa uang (money politics) dan rekayasa kesan (image engineering) harus diminimalkan sedemikian rupa, dan bahkan kalau bisa dieliminasi dari proses pemilihan pemimpin dan wakil akyat.


Memberikan kesempatan pada rakyat untuk melihat calonnya sesuai faktanya dan menyuarakan kejujuran hatinya apa adanya akan lebih menghasilkan potret keterwakilan dan kepemimpinan yang lebih akrab dan merakyat, bersama membangun masa depan yang lebih maslahat dan bermartabat.


“Iklan diri” dan “iklan bangsa” yang berwujudkan tegaknya nilai-nilai etika adalah sebuah kebanggaan yang pasti tercatat oleh tinta emas sejarah dan akan dibacakan pada anak cucu kita yang pada gilirannya akan meneruskan jalan panjang pembangunan negeri ini.
 
Akhlak, etika, sopan-santun atau budi pekerti harus menjadi mata pelajaran wajib bagi setiap anak bangsa agar nilai-nilainya terintegrasi dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Tidak ada komentar :