Menyebutkan
prestasi, nasab atau geneologi keluarga, stratifikasi sosial,
kelompok/organisasi dan pengungkapan janji adalah cara yang sangat umum
dipakai. Ada yang berhasil meraih simpati publik walaupun akhirnya harus
mengecewakan mereka karena ketidaksesuaian harapan yang dibentuk oleh iklan
dirinya dengan kenyataan.
Ada
pula yang awalnya tidak berhasil karena kalah perang iklan, namun pada masa
berikutnya terpilih karena kontinyuitas attitude positif yang dibangun
sesuai dengan iklannya yang sederhana dan apa adanya. Ada pula yang tidak
pernah berhasil karena tidak mengiklankan diri.
Iklan
adalah kata serapan dari bahasa Arab i’lan yang bermakna mengumumkan. Namun,
tidak semua iklan itu mengumumkan secara jujur apa adanya, seringkali telah
mengalami sentuhan make up dan mark up yang merekayasa sesuatu lebih dari apa
yang sesungguhnya.
Inilah
yang me”nyihir” masyarakat publik untuk terkesima pada awal perkenalannya untuk
kemudian kecewa dan patah hati di persimpangan jalan berikutnya. Kemampuan
rasio masyarakat terhijabi untuk melihat yang sesungguhnya, dan baru tersadar
ketika fakta kontradiktif menyeruak ke media massa menjadi perbincangan yang
memilukan.
Adalah
fakta empiris bahwa ada partai politik yang menyuarakan jargon anti-korupsi
tetapi banyak oknum-oknumnya yang diproses hukum kasus korupsi. Juga lembaga
yang menyuarakan keadilan hukum ternyata banyak memiliki oknum terlibat kasus
ketidakadilan hukum.
Demikian
pula wakil rakyat dan pemimpin yang berkampanye tentang kesejahteraan rakyat
tapi tertangkap tangan kasus suap dan lainnya. Padahal pekerjaan aslinya adalah
hanya menyejahterakan dirinya dan keluarganya. Akhirnya, iklan yang disampaikan
di berbagai media mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat.
Sepertinya
kita harus lebih banyak membaca perilaku keseharian calon-calon pemimpin dan
wakil rakyat yang akan dipilih pada masa yang akan datang. Perilaku hidup
keseharian seseorang merupakan “iklan” (tak tertulis) yang sesungguhnya tentang
dirinya.
Semua
orang yang punya mata, telinga dan mulut akan bercerita fakta yang sesungguhnya
tentang tabiat, perilaku dan ucapan seseorang. Track record yang tertanam dalam
benak masyarakat seringkali lebih dahsyat dibandingkan iklan gambar dan tulisan
di pinggir jalan raya yang banyak mengotori estetika lingkungan bumi pertiwi
kita.
Indahnya
akhlak Nabi Muhammad, halusnya pekerti Nabi Isa, lembutnya rasa Sang Budha
Sidharta Gautama, besarnya kasih sayang Ibu Theresa, sabar dan bersahajanya
Nelson Mandela adalah contoh iklan perilaku keseharian yang menjadikannya
dicinta dan dipilih sebagai panutan sepanjang masa, bukan hanya untuk masa lima
tahun atau sepuluh tahun.
Benar
kata para bijak: “Akhlakmu adalah iklanmu yang sesungguhnya.” Pena sejarah tak
pernah berhenti menuliskan tokoh dan peristiwa untuk menjadi ‘ibrah (pelajaran)
bagi generasi setelahnya.
Uraian
di atas tidak menegasikan urgensi iklan. George Blech dan Michael Blech dalam
bukunya Advertising and Promotion an Integrated Marketing Communications
Perspective dan juga Steve Lance dan Jeff Woll dalam bukunya The Little Blue
Book of Advertising menggebu-gebu menjelaskan perlunya iklan dan tips penting
membuat suatu iklan yang menarik.
Namun
pada akhirnya, konsumen atau masyarakat umum akan menilainya berdasarkan
kualitas faktual yang tersajikan. Etika atau akhlak keseharian benar-benar menjadi
modal utama yang paling shahih dan tak menipu untuk dijadikan dasar mencalonkan
diri untuk suatu jabatan atau pekerjaan.
Mencalonkan
atau mengajukan diri untuk suatu jabatan bukanlah suatu larangan, asalkan
memiliki kualitas dan kapabilitas. Al-Qur’an (QS 12:55) memberikan sinyal
tentang hal ini pada deskripsi kisah Nabi Yusuf yang berkata pada Raja:
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang
pandai menjaga dan lagi berpengetahuan.”
“Pandai
menjaga” adalah kualitas moral, sementara “berpengetahuan” adalah kapabilitas
intelektual. Pada kisah Nabi Musa dan keluarga Nabi Syu’aib (QS 28: 26)
disebutkan dua sifat lainnya untuk kelayakan dipilih, yaitu kuat fisik (qawiyy)
dan jujur terpercaya (amiin).
Disebutkannya
kemampuan menjaga amanah sebelum kepemilikan pengetahuan bermakna bahwa
kualitas moral, personalitas, atau attitude perlu mendapatkan perhatian lebih
besar dari pada kualitas intelektual karena ia akan menjaga eksistensi
kepercayaan yang menjadi dasar utama keharmonisan hubungan pemimpin dan rakyat.
Kecerdasan intelektual yang tidak diimbangi karakter diri yang baik akan
melahirkan kejenuhan, kebosanan dan akhirnya ketidakpercayaan massif di
kalangan masyarakat.
Saatnya
untuk lebih peduli pada aspek-aspek moral dan spiritual untuk memperbaiki
kualitas kepemimpinan bangsa ke depan. Menyatakan bahwa moral dan spiritual
(keberagamaan) adalah suatu yang privat atau bersifat pribadi adalah benar
sepanjang seseorang itu sendirian dan tak bersentuhan dengan masyarakat lainnya.
Hidup
di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan tinggal di
negara yang beragama (walau bukan negara agama) “memaksa” kita mempertimbangkan
aspek ini dalam proses kepemimpinan dan pembangunan masyarakat.
Karena
itu, mengukur kemampuan dan kepatutan diri untuk suatu jabatan/kepemimpinan
adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan ketika kita masih menganggap
jabatan sebagai amanah dan jalan pengabdian hidup. Orang-orang tidak memiliki
pengetahuan (knowledge) dan keahlian (skill) serta mereka yang sudah terkenal
cacat moral atau memiliki rekam jejak negatif tidak memiliki kelayakan untuk
mencalonkan dan dicalonkan sebagai pemimpin dan wakil rakyat.
Keterpilihan
mereka hanya akan menjadi bumerang dan pemantik sumbu konflik serta “bom waktu”
yang memporakporandakan etika politik berbangsa dan bernegara. Sabda Rasulullah
Muhammad “jangan berikan kekuasaan kepada yang memintanya” berlaku pada mereka
yang tidak memiliki kualitas moral dan kapabilitas inteletual tetapi memiliki
nafsu politik tinggi sampai menghalalkan sejumlah cara terlarang.
Kesadaran
publik atas urgensi konsiderasi nilai moral dan spiritual pada calon pemimpin
dan wakil rakyat harus ditingkatkan, disuarakan dan disosialisasikan secara
intensif sebagaimana profit and proper test yang sudah sering dijalankan
perlu dipertegas dan dipaparkan secara terbuka. Kuasa uang (money politics) dan
rekayasa kesan (image engineering) harus diminimalkan sedemikian rupa, dan
bahkan kalau bisa dieliminasi dari proses pemilihan pemimpin dan wakil akyat.
Memberikan
kesempatan pada rakyat untuk melihat calonnya sesuai faktanya dan menyuarakan
kejujuran hatinya apa adanya akan lebih menghasilkan potret keterwakilan dan
kepemimpinan yang lebih akrab dan merakyat, bersama membangun masa depan yang
lebih maslahat dan bermartabat.
“Iklan
diri” dan “iklan bangsa” yang berwujudkan tegaknya nilai-nilai etika adalah
sebuah kebanggaan yang pasti tercatat oleh tinta emas sejarah dan akan
dibacakan pada anak cucu kita yang pada gilirannya akan meneruskan jalan
panjang pembangunan negeri ini.
Akhlak, etika, sopan-santun atau budi pekerti harus menjadi mata pelajaran wajib bagi setiap anak bangsa agar nilai-nilainya terintegrasi dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar