H. Akbar
Di kalangan masyarakat kita, sayur lodeh tentu tidak asing. Sayur yang salah
satu bahan penyedapnya adalah santan. Rasanya sangat familiar dengan lidah
kita, dan sering dihidangkan pada acara keluarga. Namun siapa nyana, untuk bisa
dinikmati sayur lodeh ternyata harus melalui beberapa proses, pasalnya sejak
jaman dulu sampai sekarang Allah tidak pernah menciptakan 'pohon santan'.
Santan merupakan saripati buah kelapa tua setelah melalui proses khusus.
Proses membuat santan terdiri dari :
1. Membuang sabut, yaitu kulit buah kelapa yang paling luar. Sabut kelapa
berbentuk serat dan untuk mebuangnya diperlukan golok yang tajam, atau di
beberapa tempat dengan menggunakan sepotong besi yang diruncingi bagian
ujungnya. Besi tersebut ditancapkan pada sebatang kayu. Yang tidak biasa pasti
mengalami kesulitan kalau disuruh membuang sabut kelapa ini.
2. Membelah tempurung, bagian kulit kelapa yang keras. Untuk membelahnya
diperlukan golok khusus atau kapak kecil. Tidak setiap orang bisa membelah
tempurung dengan baik. Diperlukan suatu keahlian. Bahkan bagi pemula
tempurungnya belum habis sementara daging buahnya sudah hancur.
3. Memarut daging buahnya, yaitu menghaluskan bagian-bagian kelapa yang masih
kasar. Pekerjaan ini juga tak kalah sulitnya sebab pada proses finishingnya
terkadang tangan kita tergores parut. Dan kenyataannya setiap kelapa diparut
selalu menyisakan bagian yang keras meskipun sedikit.
4. Memeras hasil parutan menjadi santan. Santan inilah yang menjadi syarat
sayur itu disebut sebagai sayur lodeh.
Gambaran nyata dalam kehidupan jika kita ingin menikmati sesuatu, diperlukan
proses yang berliku. Kalau sesuatu sudah bisa dinikmati maka sesuatu itu akan
menjadi suatu kebutuhan. Demikian juga dalam melaksanakan ibadah kepada Allah
SWT.
Agar ibadah (baik ibadah mahdloh maupun ghair mahdloh) bisa dinikmati, kita
perlu :
1. Membuang penyakit lahir. Penyakit yang biasa menempel pada bagian luar harus
dibuang jauh-jauh. Gila hormat dan dan selalu ingin dipuji orang merupakan
bagian dari penyakit yang sering muncul bersamaan dengan melaksanakan ibadah.
2. Menghancurkan dan membuang penyakit hati. Al-Quran mengisyaratkan ada hati
manusia yang kerasnya melebihi batu. Sekeras apapun yang namanya batu kalau
dibelah masih mempunyai nilai harga, bahkan bagi kalangan tertentu membelah
batu menjadi salah satu mata pencaharian. Tapi kalau hati manusia kerasnya sudah
seperti batu, apalagi yang lebih keras daripada batu, sangat mustahil bisa
menikmati ibadah. Hati terkait langsung dengan proses ibadah.
3. Merubah perilaku kasar menjadi halus. Bahasa termasuk hal yang sulit
dikendalikan. Ingat ! Manusia adalah makhluk yang paling mulia diantara ciptaan
Allah SWT. Sapaan dengan menyebut nama binatang yang ditujukan kepada manusia
sama artinya dengan penghinaan.
4. Membuat skala prioritas dari amal yang sudah disterilkan dari penyakit.
Setelah diambil santannya, ternyata ampas kelapa juga masih bermanfaat.
Dengan membuang penyakit-penyakit di atas, kita mengharapkan ibadah yang kita
lakukan akan lebih dinikmati. Dan masih banyaknya penyakit yang menempel pada
diri kita dapat dilihat dari kenyataan bahwa ibadah yang kita lakukan baru
bersifat kewajiban, belum merupakan suatu kebutuhan. Karenanya kita belum bisa
menikmatinya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar