Manaqib - “Jika kalian
menginginkan ilmu, maka selamilah Alquran karena di dalamnya terdapat ilmu
orang-orang terdahulu dan yang akan datang.” (Abdullah bin Mas'ud RA)
Istilah membumikan Alquran bagi publik Indonesia memang terbilang baru mencuat
ke permukaan sejak Prof M Quraish Shihab menulis karya monumental pada 1994
dengan tajuk Membumikan Alquran; Fungsi dan Kedudukan wahyu dalam Kehidupan
Bermasyarakat.
Kalimat itu lantas populer di kalangan cendekiawan, mahasiswa, dan tak
terkecuali para juru dakwah. Membumikan Alquran maknanya mengimplementasikan
nilai-nilai luhur Kitab Suci tersebut di kehidupan sehari-hari.
Menempatkan Alquran yang selama ini berada ranah langit an sich,
terhenti pada kajian ilmiah, atau sekadar dibaca, tapi keistimewaannya tertahan
pada huruf, ritme, dan nada bacaan saja. Tak lebih.
Namun, sebenarnya usia dari substansi apa yang diperkenalkan Quraish itu cukup
tua bersamaan dengan diturunkannya misi yang dibawa Rasulullah SAW. Begitulah
tujuan risalah agar nilai-nilai Qurani teraplikasikan dalam kehidupan riil di
bumi, bukan mengawang-awang di langit.
Pantas bila Umar bin Khatab RA berkisah, tak pernah satu pun ayat yang sahabat
pelajari langsung dari Rasul kecuali telah mereka praktikkan. Hanya saja,
Quraish mampu membingkainya dengan apik meski kalimatnya tak terlalu
kearab-araban, tetapi tak melenceng dari esensi utama. Begitulah Quraish.
Menurut penilaian Howard M Federspiel dalam Kajian Alquran di Indonesia,
putra kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan ini, adalah putra bangsa yang unik.
Modal keilmuan yang ia peroleh selama di Timur Tengah menjadi asupan berharga
bagi dinamika tafsir di nusantara.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan fenomena kala itu di saat akademisi
justru didominasi oleh para alumni kampus-kampus Barat. Keistimewaan ini
menempatkannya sebagai nama cendekiawan paling populer dalam Popular
Indonesian Literature of The Quran.
Mimpi besar 'membumikan' Alquran itu termanifestasikan lewat berbagai karya
yang ia tulis. Dan, sebagian besarnya didominasi dengan corak dan gaya tafsir.
Gagasannya itu pun dinilai banyak kalangan sangat novatif, memecah kebuntuan
kajian tafsir modern Tanah Air, yang sempat stagnan, bahkan mandek pada
1980-an. Karya-karya monumental belum lagi muncul setelah era tersebut.
Padahal, dalam dekade itu, buah pemikiran beberapa tokoh sempat menggeliatkan
kajian tafsir modern nusantara, seperti karya ash-Siddieqy dengan judul Tafsir
al-Bayan, Halim Hasan lewat Tafsir Alquranul Karim, dan terakhir
pendahulu Quraish di Universtas al-Azhar Mesir, yakni karya Buya Hamka dengan
judul Tafsir al-Azhar.
Howard tentu tidak berlebihan menilai sang mufasir itu unik. Apalagi bila
melihat potret dan stigma miring yang selama ini disematkan ke wajah para
alumni Timur Tengah, tidak produktif dan tak lihai menulis karya ilmiah. Citra
itu diperkuat dengan fakta bahwa mayoritas universitas di kawasan tersebut
tidak memberlakukan wajib skripsi bagi mahasiswa strata satu.
Namun, memang realisasi mimpi besar Quraish tidaklah mudah. Perlu komitmen dan
sinergitas. Konsep Pusat Studi Alquran yang ia dirikan seyogianya bentuk
ikhitar sederhana merangkum segala potensi demi terwujudnya mimpi itu. Tentu,
akan lebih indah jika gayung bersambut dalam upaya 'membumikan' Alquran.
Di lain sisi, potensi diskursus dan disorientasi pada kajian tafsir, di
tengah-tengah arus liberalisme dan radikalisme, cukuplah ada, untuk tidak
dibilang besar. Mempertahankan moderasi yang merupakan hakikat Islam terkadang
mendatangkan tudingan tak sedap.
Suara sumbang acap kali ditujukan kepada Sang Tokoh. Di satu sisi, masyarakat
kian cerdas untuk membaca opsi yang sekiranya tepat tanpa menabrak kesucian
naluri mereka. Sementara di sisi yang lain, suara sumbang yang berasal dari
'ketidaktahuan' itu menyisakan kebencian dan tuduhan murahan. Bagi Quraish,
butuh proses untuk mendidik umat akan pentingnya kedewasaan berpikir.
Sebab, inti dari mimpi tersebut adalah kepatuhan kepada Tuhan. Tuhan memberikan
kebebasan, menginginkan agar dalam kehidupan di dunia terwujud bayang-bayang
surga. Bayang-bayang surga itu, menurut Alquran, sandang, pangan, dan papan
tercukupi. Dan yang kedua, damai. Biarkan saja, Tuhan berkehendak apa. Tugas
seorang hamba adalah patuh.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar