RANGGEUYAN MUTIARA : (1) ulah ngewa ka ulama anu sajaman (2) ulah nyalahkeun kana pangajaran batur (3) ulah mariksa murid batur (4) ulah medal sila upama kapanah - KUDU ASIH KA JALMA NU MIKANGEWA KA MANEH - Pangersa Guru Almarhum

Selasa, 29 Juli 2014

IBADAH DALAM ISLAM MEMADUKAN DIMENSI JIWA DAN RAGA

Manaqib - Jiwa manusia diberi kemampuan oleh Allah untuk memilih yang baik dan yang buruk. (QS 91:8). Beruntunglah orang yang mau mensucikan jiwanya, dan merugilah orang yang mengotori jiwanya.

Imam Ibn Katsir, dalam tafsirnya, menjelaskan, bahwa maksud mensucikan jiwa adalah menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Ada doa khusus yang dibaca Rasulullah saw saat membaca ayat ini: “Allahumma Ẩti nafsiy taqwâhâ Anta waliyyuhâ wa-mawlâhâ wa khayru man zakkâhâ.”(Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketaqwaannya, Engkaulah wali dan Tuannya; dan Engkaulah sebaik-baik yang mensucikannya).


Manusia adalah makhluk yang terdiri atas jiwa dan raga.Keduanya merupakan satu kesatuan yang unik dalam membentuk sosok bernama “manusia”.  Islam tidak mengenal pemisahan yang ekstrim antara tubuh dan jiwa, sehingga ibadah dalam Islam juga memadukan dimensi  jiwa dan raga. Sholat, haji, puasa, dan sebagainya, merupakan paduan yang harmonis dan unik antara aspek jiwa dan raga.


Dalam shalat, orang diwajibkan suci lahir dari hadats dan najis.Secara batin, dia pun harus suci dari penyakit jiwa, seperti riya’ dan ujub. Puasa dalam Islam adalah ibadah yang secara ketat melatih badan untuk tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Namun, pada saat yang sama, puasa harus didasarkan pada aspek kejiwaan, seperti niat yang ikhlas karena Allah. Begitu pula berbagai jenis ibadah lainnya.


Itulah indahnya ibadah dalam Islam. Begitu ketat dan jelasnya petunjuk Rasulullah saw dalam pelaksanaan ibadah puasa, baik secara jasmani maupun rohani. Selama puasa, kita dilatih secara fisik, menahan lapar dan dahaga, dan pada saat yang sama, diharuskan menjalani puasa batin agar menjaga diri dari berbagai penyakit hati yang dapat merusak ibadah puasa. Niat baik saja tidak cukup.Niat baik harus juga disertai dengan cara yang baik, yang sesuai dengan ajaran Nabi saw.


Saat Ramadhan, tiap Muslim dilatih dengan keras untuk mensucikan jiwa dengan cara menundukkan hawa nafsu. Nafsu harus ditundukkan, bukan dibunuh. Rasulullah saw pernah menegur sahabatnya yang mencoba hendak berpuasa terus-menerus tanpa berbuka. Begitu juga sahabat yang enggan menikah karena menyangka pernikahan menjauhkannya dari ketaqwaan. Islam bukan agama yang ekstrim, yang terjebak dalam kutub materialisme ekstrim atau spiritualisme yang kebablasan, seperti mengharamkan pernikahan yang dihalalkan oleh  Allah.


Maka, manusialah yang harus mengendalikan nafsunya; dan bukan sebaliknya, dikendalikan oleh hawa nafsunya.“Adapun orang yang durhaka, dan mengutamakan kehidupan dunia, maka neraka Jahim-lah tempat dia. Sedangkan orang yang takut akan kebesaran Tuhannya, dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sorgalah tempat dia.” (QS 79:37-41)


Nabi saw bersabda: “al-mujaahid man jaahada nafsahu”(HR Tirmidzi). Seorang mujahid adalah orang yang berjuang menundukkan nafsunya.Menundukkan nafsu adalah jihad yang besar, sehingga perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh.Dengan segala macam latihan ibadah yang sungguh-sungguh (mujahadah), kita berharap menjadi mukmin yang bahagia, memiliki nafsu yang tenang (nafsul-muthmainnah).“Wahai nafsul-muthmainnah (wahai jiwa yang tenang), kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh ridha dan diridhai.” (QS 89:27-28).


Imam Ibn Katsir menyatakan, bahwa saat sakaratul maut, dan saat di akhirat nanti, hamba Allah dengan jiwa yang tenang (muthmainnah) akan mendapatkan seruan: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu,” dengan hati yang ridha dan diridhai, yakni “dia rela menjadikan Allah sebagai Tuhannya dan Allah pun ridha menjadikan dia sebagai hamba yang dikasihi-Nya.
 
Ibnu Katsir mengutip sebuah doa Rasulullah saw: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu akan jiwa yang tenang yang beriman akan perjumpaan dengan-Mu dan ridha atas keputusan-Mu dan merasa puas dengan pemberian-Mu.” (Allahumma inniy as’aluka nafsan muthmainnatan tu’minu bi-liqâika wa-tardha bi-qadhâika wa-taqnau bi-‘athâika).

Tidak ada komentar :