RANGGEUYAN MUTIARA : (1) ulah ngewa ka ulama anu sajaman (2) ulah nyalahkeun kana pangajaran batur (3) ulah mariksa murid batur (4) ulah medal sila upama kapanah - KUDU ASIH KA JALMA NU MIKANGEWA KA MANEH - Pangersa Guru Almarhum

Selasa, 29 Juli 2014

TASAWUF AL QURAN TENTANG MORALITAS MANUSIA

Manaqib - Manusia adalah mahluk jasmani dan rohani, dan karena itu wujud kepribadiannya bukanlah kualitas-kualaitas yang bersifat kejasmaniyahan namun lebih bersifat kualitas-kualitas moral yang hidup dan dinamis. Hakekat proses perkembangan jiwa adalah rentetan dan susunan dari tindakan –tindakan dan pengalaman yang tidak pernah berhenti.

Apa yang dinamakan sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna tidak akan pernah menjelma sebagai kenyataan faktual dalam diri dan kehidupan manusia. Yang ada dan terjadi hanyalah proses penyempurnaan diri dan tempat manusia mencoba dan berusaha membuat dirinya makin sempurna.

Ini berarti, Insan Kamil sebagai pola cita kepribadian sekali-kali bukan wujud konkrit dalam dunia nyata, selainkan suatu ide abstrak dalam dunia cita. Tapi itu semua sama sekali tidak berarti proses perkemebangan jiwa tersebut dibiarkan berlangsung tanpa arah.

 

Bentuk pengarahannya terletak pada gagasan moral yang mengilhami dan meneafasi proses perkembangan jiwa manusia tersebut. Di sini terlihat kedalaman makna peletakan al asma al husna sebagai cita moral bagi kehidupann manusia. Allah SWT berfirman,”Kepunyaan Allah-lah Al Asma Al Husna (nama-nama yang agaung dan indah). Maka serulah ia dengannya. Dan Tinggalkanlah orng yang menyalahgunakan nama-nama-Nya . Mereka akan memperoleh balasan atas apa yang mereka kerjakan.” (QS Al A’Raaf : 180).
 

Adapun yang dimaksud dengan al asma al husna menurut Muhammad Ali dalam bukunya The Holy Qur’an hal 1180 adalah,” Nama-nama yang menampakan sifat-sifat yangpaling baik dari zat Illahi.” Sedang dengan perkataan fa ud’uhu biha, menurutnya berarti,”bahwa manusia harus menyimpan sifat-sifat illahi dalam pikirannya dan berusaha memiliki sifat-sifat tersebut, sebab hanya dengan itu dia bisa mencapai kesempurnaan.”
 

Hal ini dipertegas lagi oleh Alquran ,”Bagi mereka yang tiada beriman kepada hari kemudian , berlaku perumpamaan kejahatan. Tapi, bagi Allah, berlaku perumpamaan yang paling tinggi. Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS An-Nahl: 60).
 

Dalam ayat di atas, Alquran mengkaitkan watsal al-su’ (sifat-sifat buruk) kepada orang-orang yang tidak beriman kepada hari kemudian, yakni kehidupan setelah mati sebagai proses lanjutan dari kehidupan dunia ini dan sebaliknya menisbahkan matsal al a’la (sifat-sifat luhur) kepada Ilahi.
 
Dengan demikian, terdapat isyarat halus dari ayat tersebut bahwa kepribadian orang-orang yang berhasil meningggalkan perbuatan buruk dan berusaha menumbuhkan matsal al a’la dalam dirinya. Atau dengan perkataan lain, menjadi kan sifat-sifat ilahi sebagai sumber gagasan yang mewarnai kehidupan akhlaknya, sebab kata Khadja Kamal-ud Din dalam buku The Threshold of Truth terbitan London th 1924,”manusia diciptakan untuk mengambil Tuhan sebagai prototipenya dan untuk mewujudkan kembali akhlaq illahi.”

Pemancaran kembali sifat-sifat Ilahi dalam wujud akhlaq insani diperintahkan sendiri oleh Alquran,”Berbuatlah baik sebagai mana Allah berbuat baik kepadamu dan janganalah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan,” (QS Al Qashash:77).

Manusia dianjurkan untuk berbuat baik kepada sesamanya sebagaimana Tuhan telah telah berbuat baik kepadanya dan kebaikan illahi kepada manusia dinyatakan dalam perwujudan sifat-sifat-Nya yang luhur dan sempurna. Karena itu , kebaikana manusia terhadap sesamanya harus dimanifestasikan dalam bentuk pelahiran dan perwujudan kembali sifat-sifat illahi dalam kehidupan manusia sesuai dengan batas kemampuan dan alam manusia.

Dengan demikian, jelas dan pasti bahwa manusia tidak mungkinn bisa menyamai dan menyerupai sifat-sifat ilahi itu. Namun, dalam ketidaksempurnaannya sebagai mahlukk Tuhan, dengan meletakkan sifat-sifat illahi sebagai gagasan dan pola kehidupan moralnya, manusia berusaha mencoba mengarahkan proses perkembangan kepribadian.

Dan justru dalam proses mengarahakan perkembangan pribadinya pada keluhuran dan kesempurnaan sifat-sifat illahi itulah manusia berhadapan dengan sumber illahi yang tak kunjung kering untuk pembentukan kepribadiannya dalam proses yang terus menerus dan tak kenal henti.

Tidak ada komentar :