Di atas
kaidah ini, dibangunlah cara bagaimana berpisah dengan bulan Ramadhan. Saat
berpisah dengan bulan Ramadhan, ada dua macam orang : yaitu bahagia dan sedih.
Kalau
berbahagia saat berpisah, maka dia belum merasakan manisnya Ramadhan. Kalau
belum merasakan manisnya Ramadhan, berarti dia belum memperlakukan Ramadhan
dengan sebagaimana mestinya.
Orang yang
demikian hendaknya banyak beristighfar kepada Allah SWT disertai dengan
penyesalan yang sebenar-benarnya. Ini akan jauh lebih baik daripada orang yang
mengisi bulan Ramadhan tapi tidak bisa menjaga keutuhan pahalanya.
Kalau
bersedih saat berpisah, berarti dia telah merasakan manisnya bulan Ramadhan,
dan dia tidak mau ditinggalkannya. Orang seperti ini perlu bersyukur kepada
Allah SWT. Tapi bukan berarti kewajibannya telah selesai, dia perlu
bermuhasabah apakah dia sudah sampai pada tujuan ibadah Ramadhan atau belum?
Di antara
tujuan ibadah Ramadhan adalah menjadi bertakwa.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [Al-Baqarah: 183].
Cara
muhasabah ketakwaan bisa dengan melihat tanda-tanda orang yang bertakwa.
Misalnya banyak beribadah dengan motivasi melindungi diri dari siksa neraka;
berusaha menjadi segala sesuatu sebagai pelindung dari siksa neraka; berusaha
sempurna dalam melaksanakan kewajiban; lebih berhati-hati dalam memakai dan membelanjakan
hartanya.
Tujuan lain
ibadah di bulan Ramadhan adalah agar seluruh dosa kita diampuni.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Orang yang
berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap surga, maka akan
dihapuskan seluruh dosanya.” [HR. Bukhari dan Muslim].
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Orang yang
menghidupkan malam di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap surga,
maka akan dihapuskan seluruh dosanya. [HR. Bukhari dan Muslim].
Bagaimana
mengetahui bahwa dosa-dosa kita telah diampuni? Ada tanda-tandanya seperti
mudah dalam melaksanakan kebaikan dan ketaatan, karena dosa yang membebaninya
telah dihilangkan sehingga beban menjadi ringan; selalu terdorong dalam
melaksanakan kebaikan, karena di antara pahala sebuah kebaikan adalah
dimudahkan berbuat kebaikan yang lain; dicintai orang lain, karena ketika Allah
SWT mencintainya, maka para malaikat pun mencintainya, dan kalau malaikat
mencintainya, maka orang lain pun ikut mencintainya.
Kalau
tujuan-tujuan itu dinilai tercapai, apakah sudah selesai? Orang itu hendaknya
menjaga sikapnya seperti inkisar (merasa dirinya belum ada nilainya). Tidak
merasa dirinya paling baik, paling shalih dan paling benar.
Seperti
sahabat Abdullah bin Umar RA berharap satu sujudnya diterima, padahal beliau
adalah ahli ibadah tapi masih khawatir ibadah-ibadahnya ditolak Allah Ta’ala.
Jika ada satu sujudnya yang diterima maka akan lebih membuatnya bahagia
daripada menerima harta seluruh dunia.
Seperti Umar
bin Abdul Aziz RA yang tidak mau dikubur bersama Rasulullah SAW seperti
diusulkan oleh para tabi’in. Padahal beliau disebut-sebut sebagai khalifah
rasyidin kelima, walaupun kita mengetahui hanya ada empat orang khalifah
rasyidin.
Kita juga
belajar dari perintah Allah Ta’ala untuk banyak membaca istighfar di kala sahur
(sebelum subuh). Ini menunjukkan bahwa setelah banyak beribadah, jangan sampai
ibadah itu membuat sombong, harus tetap merasa banyak berdosa.
Walaupun
banyak mengumpulkan pahala di bulan Ramadhan, namun pahala-pahala itu belum
aman. Banyak sekali perbuatan itu yang bisa membuatnya hilang sia-sia.
Misalnya, mendahului Allah SWT dalam menghukumi orang lain; riya’; ujub;
maksiat dalam khalwat; menzhalimi orang lain; menggunjing orang lain; hasad dan
sebagainya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar