Pola hubungan kemanusiaan akan terangkai indah jika karakter kepribadian tersebut di atas menjadi ruhnya. Terbayang jelas nuansa bahagia yang akan terbentuk dalam sebuah bangsa kalau saja pemimpin dan rakyatnya menjadi pengejawantahan nilai-nilai puncak kemanusiaan.
Sedikitnya ada 7 (tujuh) karakter yang bisa dijadikan ukuran menguji kedewasaan : kemampuan menjaga komitmen jangka panjang, tidak berubah karena pujian atau kritik, menunjukkan spirit kerendahhatian, peduli dan mendahulukan orang lain sebelum dirinya sendiri, memutuskan sesuatu berdasarkan karakter bukan perasaan, mengekspressikan terimakasih, dan mencari hikmah atau kebijaksanaan sebelum berbuat.
Kedewasaan mensyaratkan kemampuan menata emosi diri dalam kaitannya dengan emosi orang lain untuk bersama-sama berada dalam zona emosi bahagia. Lebih dari itu, kedewasaan mengharuskan adanya kemampuan diri untuk mencari solusi yang terbijak, dengan cara yang santun dan tujuan yang mulia.
yang tergoda membangun hubungan untuk kepentingan pribadi yang sifatnya jangka pendek (sementara) biasa dibaca sebagai opportunis yang hanya peduli pada dirinya dengan mengenyampingkan perasaan orang lain. Berdasarkan ukuran tujuh karakter di atas, manusia seperti ini sangatlah jauh dari maqam (stasiun) kedewasaan diri yang melayakkan dirinya untuk menjadi pemimpin yang baik.
Orang yang haus pujian dan suka marah ketika dikritik adalah pribadi yang masih belum matang dan dewasa, terlebih ketika dilengkapi dengan kesombongan yang memposisikan dirinya sebagai orang yang paling hebat dan tidak pernah salah. Perilaku pemimpin yang memamerkan amarahnya di depan publik dengan menganggapnya sebagai sifat jantan dan tegas sangat perlu untuk dievalusai dan diingatkan.
Amarah bukanlah ketegasan, ia adalah potret ketidakberdayaan diri mengatur dan menata sekitar dengan cinta dan kasih sayang. Menarik untuk merenungkan ungkapan puitis seorang budayawan muslim NK Mahmudi: “Kalaulah suara nada tinggi menjadi karakter terpenting pemimpin yang jantan dan tegas, niscaya anjing yang gonggongannya memekakkan telinga akan menjadi pemimpin yang paling jantan dan tegas.”
Orang yang sulit untuk memaklumi kekurangan orang lain, pelit memberikan maaf dan enggan berterima kasih pada orang yang berjasa pada dirinya adalah manusia yang mungkin saja secara fisik dinyatakan sudah besar dan tua, namun secara mental belum layak untuk disebut dewasa. Sejarah tidak akan pernah terhapus, dan setiap orang memiliki kemungkinan untuk membaca ulang sejarah itu dengan caranya sendiri. Mengingkari sejarah adalah salah satu sikap yang paling layak disebut pengkhianatan.
Orang-orang yang berpendidikan (tarbiyah ilmiyah) serta yang dididik oleh alam dan pengalamannya (tarbiyah ‘amaliyah) dengan pendidikan sempurna akan menjadi dewasa dalam makna sesungguhnya. Orang-orang besar yang kebesarannya bertahan hingga kini sebagai pribadi agung adalah orang-orang yang terdidik secara alami yang mampu memimpin dirinya dan memimpin orang lain dengan cinta dan kasih sayang.
Adalah sangat tepat ketika pendidikan kepemimpinan Rasulullah diawali dengan perintah yang berisikan ajakan dengan penuh kebijaksanaan dan kelemahlembutan (QS 3: 159; QS. 16: 125). Dalam kaitannya dengan kelemahlembutan ini Rasulullah menyampaikan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim: “Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam setiap perkara. Pelajaran kepemimpinan lainnya adalah tentang perlunya kemampuan untuk memberikan maaf kepada orang lain” (QS. 7: 199; QS. 3: 133).
Membaca narasi eksplanatoris di atas akan memunculkan pertanyaan “masih perlukah marah-marah di depan publik dilanjutkan sebagai trend di negeri kita ini sebagai pemberitahuan kepada publik bahwa dirinya tegas?” Sepertinya, mayoritas publik mengharapkan sosok yang tegas tapi bukan pemarah, sosok yang punya komitmen tapi bukan yang opportunis, sosok yang suka senyum tapi bukan yang diam-diam menipu orang lain.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar