RANGGEUYAN MUTIARA : (1) ulah ngewa ka ulama anu sajaman (2) ulah nyalahkeun kana pangajaran batur (3) ulah mariksa murid batur (4) ulah medal sila upama kapanah - KUDU ASIH KA JALMA NU MIKANGEWA KA MANEH - Pangersa Guru Almarhum

Sabtu, 20 September 2014

RIDHA MENERIMA KEJADIAN

Manaqib - Kesiapan diri sangatlah penting dalam rangka menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi di dalam kehidupan ini. Namun jika hal tersebut telah terjadi, sikap yang harus kita miliki adalah ridha. Ridha terhadap apa yang akhirnya terjadi atau ridha pada hasil yang akhirnya kita terima setelah usaha yang kita lakukan.

Mengapa kita harus ridha? Karena jika kita tidak ridha pun, kejadian atau hasil itu tetap terjadi. Contohnya sederhananya adalah apabila kita sedang berjalan di tengah lapangan golf, kemudian ada satu bola golf yang terlempar dan mengenai jempol kaki kita.



Jika peristiwa ini terjadi pada diri kita, maka bersikaplah ridha. Karena tak ada untungnya juga bersikap tidak ridha, toh bola itu telah mengenai jempol kaki kita. Biarlah rasa sakit sejenak. Janganlah rasa sakit itu membuat kita bersikap menggerutu, mengutuk atau sikap apapun yang tidak baik.


Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah aaw bersabda, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya.”(HR.Muslim)


Sebagaimana isi hadis di atas, bersikap ridha itu akan memberikan nuansa tersendiri di dalam batin kita. Karena sebenarnya penderitaan kita saat kita menggerutu dan mengutuk itu bukan karena peristiwa jatuhnya bola pada jempol kaki kita. Melainkan karena kita tidak mau menerima kenyataan yang terjadi pada diri kita. Sehingga akhirnya kita pun merasakan penderitaan.


Contoh lainnya yang jamak terjadi di tengah-tengah kita adalah sikap mengejek atau mencibir keadaan diri sendiri. Ada orang yang mencibir fisiknya sendiri hanya karena hidungnya yang pesek, atau kulitnya yang hitam, atau posturnya yang pendek. Atau ada juga orang yang mencibir dirinya sendiri hanya karena terlahir dari keluarga yang tidak kaya raya.


Orang-orang seperti di atas akhirnya merasakan penderitaan. Penderitaan mereka bukan disebabkan oleh kenyataan yang terjadi, akan tetapi karena ketidakterampilan mentalnya dalam menerima kenyataan. Maka, tidak heran apabila kita banyak menyaksikan orang-orang yang mengalami stress. Mereka stress karena tidak terampil untuk menerima kenyataan yang terjadi pada diri mereka, baik itu berkenaan dengan masalah penampilan, keuangan, karier, dan lain sebagainya.


Seorang wanita yang sudah melewati umur 30 tahun, pontang-panting menata penampilan diri demi menghindari keriput di wajahnya. Berbagai cara ia lakukan, meski harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah bahkan lebih. Namun, keriput tetap saja muncul. Ia pun stres.


Sikap di atas adalah salah satu sikap tidak ridha menghadapi kenyataan. Wanita ini bersikap berlebih-lebihan karena tidak ridha menerima kenyataan bahwa setiap manusia itu seiring bertambahnya usia akan mengalami penuaan, baik cepat ataupun lambat. Sebanyak apapun kosmetik digunakan, sebesar apapun biaya perawatan yang dikeluarkan, tua itu adalah keniscayaan.


Apakah sikap ridha itu adalah sikap pasrah? Jelas bukan. Ridha itu keterampilan mental kita untuk realistis menerima kenyataan. Adapun otak dan anggota tubuh berikhtiar terus untuk memperbaiki kenyataan, hingga mencapai keadaan yang lebih baik lagi.


Saat sakit gigi terasa, misalnya, bersikap ridhalah. Karena tidak ridha pun tetap sakit gigi. Bersikap ridha, akan tetapi tidak berdiam diri, melainkan berikhtiar memperbaiki kenyataan dengan cara pergi berobat ke dokter gigi. Saat pergi ke klinik dokter gigi dan menemukan kenyataan bahwa kliniknya sedang tutup, maka bersikaplah ridha kembali. Jangan lantas menggerutu, karena sikap demikian hanya akan sia-sia belaka, bahkan berpotensi menjerumuskan diri ke dalam dosa tanpa terasa.


Oleh karena itu, apapun kenyataan yang kita hadapi, terimalah dan jangan berkeluh kesah. Bersikaplah ridha dan bukan mengutuk atau menggerutu. Sikap ridha akan menghindarkan kita dari rasa menderita. Kenyataan yang berbeda dengan harapan akan jadi terasa ringan dan kita pun akan lebih bisa mengondisikan diri untuk berbahagia.


Apalagi, sebagaimana kita yakini bahwa tidak ada satu kejadian pun yang tidak memiliki maksud dan tujuan. Termasuk jika kejadian itu adalah sebuah musibah atau ujian. Sungguh suatu kerugian besar apabila musibah yang datang disikapi dengan sikap negatif, tidak menerima, menggerutu. Karena, musibah adalah ujian yang justru akan semakin memperkokoh kekuatan diri seseorang.


Bahkan, musibah apabila dihadapi dengan sikap ridha, akan menjadi jalan menuju surga. Sebagaimana firman Allah Swt, ”Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ”Bilakah datangnya nashrullah (pertolongan Allah). ”Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS Al-Baqarah [2]:214).


Bersikap ridha itu seperti apabila kita menanak nasi ternyata tanpa disadari air yang kita tuangkan terlalu banyak sehingga beras yang kita rencanakan menjadi nasi malah menjadi bubur. Dalam keadaan seperti ini, sikap yang kita lakukan bukanlah menggerutu dan menyalahkan diri apalagi memarahi orang lain. Akan tetapi bersikaplah ridha, sembari mencari daun seledri, kacang kedelai dan suwiran daging ayam. Ditambahi kecap dan kerupuk. Maka, bubur itu menjadi bubur ayam spesial.


Tidak ada komentar :