Mengapa kita
harus ridha? Karena jika kita tidak ridha pun, kejadian atau hasil itu tetap
terjadi. Contohnya sederhananya adalah apabila kita sedang berjalan di tengah
lapangan golf, kemudian ada satu bola golf yang terlempar dan mengenai jempol
kaki kita.
Jika
peristiwa ini terjadi pada diri kita, maka bersikaplah ridha. Karena tak ada
untungnya juga bersikap tidak ridha, toh bola itu telah mengenai jempol kaki
kita. Biarlah rasa sakit sejenak. Janganlah rasa sakit itu membuat kita
bersikap menggerutu, mengutuk atau sikap apapun yang tidak baik.
Dalam salah
satu hadisnya, Rasulullah aaw bersabda, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan
iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya
serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya.”(HR.Muslim)
Sebagaimana
isi hadis di atas, bersikap ridha itu akan memberikan nuansa tersendiri di
dalam batin kita. Karena sebenarnya penderitaan kita saat kita menggerutu dan
mengutuk itu bukan karena peristiwa jatuhnya bola pada jempol kaki kita.
Melainkan karena kita tidak mau menerima kenyataan yang terjadi pada diri kita.
Sehingga akhirnya kita pun merasakan penderitaan.
Contoh
lainnya yang jamak terjadi di tengah-tengah kita adalah sikap mengejek atau
mencibir keadaan diri sendiri. Ada orang yang mencibir fisiknya sendiri hanya
karena hidungnya yang pesek, atau kulitnya yang hitam, atau posturnya yang
pendek. Atau ada juga orang yang mencibir dirinya sendiri hanya karena terlahir
dari keluarga yang tidak kaya raya.
Orang-orang
seperti di atas akhirnya merasakan penderitaan. Penderitaan mereka bukan
disebabkan oleh kenyataan yang terjadi, akan tetapi karena ketidakterampilan
mentalnya dalam menerima kenyataan. Maka, tidak heran apabila kita banyak
menyaksikan orang-orang yang mengalami stress. Mereka stress karena tidak
terampil untuk menerima kenyataan yang terjadi pada diri mereka, baik itu
berkenaan dengan masalah penampilan, keuangan, karier, dan lain sebagainya.
Seorang
wanita yang sudah melewati umur 30 tahun, pontang-panting menata penampilan
diri demi menghindari keriput di wajahnya. Berbagai cara ia lakukan, meski
harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah bahkan lebih. Namun, keriput tetap saja
muncul. Ia pun stres.
Sikap di
atas adalah salah satu sikap tidak ridha menghadapi kenyataan. Wanita ini
bersikap berlebih-lebihan karena tidak ridha menerima kenyataan bahwa setiap
manusia itu seiring bertambahnya usia akan mengalami penuaan, baik cepat
ataupun lambat. Sebanyak apapun kosmetik digunakan, sebesar apapun biaya
perawatan yang dikeluarkan, tua itu adalah keniscayaan.
Apakah sikap
ridha itu adalah sikap pasrah? Jelas bukan. Ridha itu keterampilan mental kita
untuk realistis menerima kenyataan. Adapun otak dan anggota tubuh berikhtiar
terus untuk memperbaiki kenyataan, hingga mencapai keadaan yang lebih baik
lagi.
Saat sakit
gigi terasa, misalnya, bersikap ridhalah. Karena tidak ridha pun tetap sakit
gigi. Bersikap ridha, akan tetapi tidak berdiam diri, melainkan berikhtiar
memperbaiki kenyataan dengan cara pergi berobat ke dokter gigi. Saat pergi ke
klinik dokter gigi dan menemukan kenyataan bahwa kliniknya sedang tutup, maka
bersikaplah ridha kembali. Jangan lantas menggerutu, karena sikap demikian
hanya akan sia-sia belaka, bahkan berpotensi menjerumuskan diri ke dalam dosa
tanpa terasa.
Oleh karena
itu, apapun kenyataan yang kita hadapi, terimalah dan jangan berkeluh kesah.
Bersikaplah ridha dan bukan mengutuk atau menggerutu. Sikap ridha akan
menghindarkan kita dari rasa menderita. Kenyataan yang berbeda dengan harapan
akan jadi terasa ringan dan kita pun akan lebih bisa mengondisikan diri untuk
berbahagia.
Apalagi,
sebagaimana kita yakini bahwa tidak ada satu kejadian pun yang tidak memiliki
maksud dan tujuan. Termasuk jika kejadian itu adalah sebuah musibah atau ujian.
Sungguh suatu kerugian besar apabila musibah yang datang disikapi dengan sikap
negatif, tidak menerima, menggerutu. Karena, musibah adalah ujian yang justru
akan semakin memperkokoh kekuatan diri seseorang.
Bahkan,
musibah apabila dihadapi dengan sikap ridha, akan menjadi jalan menuju surga.
Sebagaimana firman Allah Swt, ”Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,
padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya, ”Bilakah datangnya nashrullah (pertolongan
Allah). ”Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS
Al-Baqarah [2]:214).
Bersikap
ridha itu seperti apabila kita menanak nasi ternyata tanpa disadari air yang
kita tuangkan terlalu banyak sehingga beras yang kita rencanakan menjadi nasi
malah menjadi bubur. Dalam keadaan seperti ini, sikap yang kita lakukan
bukanlah menggerutu dan menyalahkan diri apalagi memarahi orang lain. Akan
tetapi bersikaplah ridha, sembari mencari daun seledri, kacang kedelai dan
suwiran daging ayam. Ditambahi kecap dan kerupuk. Maka, bubur itu menjadi bubur
ayam spesial.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar