Potensi
menerima dan menolak sangat dipengaruhi oleh hati. Bila hatinya baik, maka ia
akan cenderung menerima kebaikan dan menolak keburukan. Sebaliknya, bila
hatinya buruk, maka ia cenderung menerima keburukan dan menolak kebaikan.
Hati adalah raja. Ia pengendali setiap langkah manusia. Ia bersama akal
berperan dalam menentukan setiap keputusan. Ia menjadi barometer buruk tidaknya
manusia. "Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Bila ia buruk, maka
buruklah seluruh tubuh," demikian sabda Rasulullah SAW mengenai hati.
Hati yang
Hidup
Di antara
umat Islam, ada beberapa orang biasa yang kedudukannya sangat istimewa di
hadapan Allah. Ia bukan ulama, bukan pula syuhada. Kedudukannya itu telah
membuat syuhada, ulama, bahkan para nabi iri hati. Mereka dapat menyingkap
rahasia kehidupan. Mereka dapat menyingkap rahasia Allah dalam dirinya,
sehingga ia dapat menggunakan potensi indra penglihatan, pendengaran, dan hati
sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ia mampu mengendalikan semua indranya untuk
ketaatan kepada Allah. Ia gerakkan organ tubuh dan jiwanya dalam ketekunan dan
kekhusyuan beribadah.
Dari dalam
jiwanya lahir gelombang semangat. Ia hidupkan malam-malamnya dengan tahajud dan
berdo'a menyesali setiap kekeliruan. Siangnya ia tebarkan kasih sayang dan
kebaikan. Ia seru manusia agar kembali ke jalan Allah. Ruh dan hatinya menjadi
penarik setiap hati manusia yang kembali menemukan pintu hidayah. Hatinya
menjadi "magnet" hati-hati yang lain. Hatinya telah mendapat
petunjuk dan perlindungan dari sang Maha Pemberi Petunjuk.
Allah SWT
berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan
kepada kamu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan
hatinya dan sesungguhnya kepadaNyalah kamu akan dikumpulkan." (QS.
Al-Anfal [8] : 24).
Hati yang
Kering (Mati)
Allah telah
menggambarkan orang yang kering hatinya dan berkarat jiwanya dalam Al-Qur'an,
"Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih
keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir
sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu
keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur
jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa
yang kamu kerjakan." (QS. Al-Baqarah [2] : 74).
Abbas
As-Siisiy dalam buku Ath-Thariq Ilal Qulub (Bagaimana Menyentuh Hati (1420 H))
menjelaskan, dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa batu itu sensitif, bahkan
ketika ia meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Tetapi kita tidak memiliki
peralatan yang dapat membuka rahasia, bagaimana batu itu dapat sensitif. Namun
kita yakin melalui ayat tersebut bahwa ia memang sensitif, takut, dan melekat
satu sama lain karena takutnya kepada Allah.
Batu
sensitif, gemetaran, dan melekat satu sama lain karena takut kepada Allah,
lanjut Abbas As-Siisiy, lalu bagaimana dengan manusia yang banyak diberikan
Allah kenikmatan yang besar, seperti akal, perasaan, dan hati sebagai penitipan
rahmat. Sebagian manusia yang hatinya hidup mensyukuri semua kenikmatan Allah.
Dan sebagian besar yang lain kurang mensyukuri atau bahkan tidak bersyukur sama
sekali terhadap pemberi rezeki, Allah SWT. Manusia yang kufur nikmat ini telah
mati hatinya. Sebagaimana firman Allah, "Dalam hati mereka ada penyakit,
lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan
mereka berdusta." (QS. Al-Baqarah [2] : 10).
Orang yang
mati hatinya, sukar untuk menerima kebenaran. Ia akan bertindak sesuai dengan
kehendaknya. Nafsu syahwatnya menjadi pengendali, sehingga ia akan menjadi
mahluk yang angkuh dan sombong. Karena itu, berlindunglah dari hati yang keras,
hati yang mati, hati yang dikendalikan nafsu. "Ya Allah, janganlah Engkau
jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada
kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sis-Mu; karena sesungguhnya
Engkau-lah Maha Pemberi."
Tidak ada komentar :
Posting Komentar