Dokter itu
menjawab : Ya!
Pemuda itu
berkata : Berikan padaku resep mujarab itu!
Dokter
berkata : “Ambillah sepuluh bahan pelebur dosa itu :
Ambillah
akar pohon rasa fakir dan menghajatkan pada Allah bersama
dengan akar kerendahan hati yang tulus dan ikhlas kepada Allah. Jadikan taubat sebagai
campurannya. Lalu masukkan dalam wadah ridha atas semua
ketentuan dan takdir Allah. Aduklah dengan adukan qana’ah rasa
puas dengan apa yang telah Allah berikan kepada kita. Masukkan dalam kuali takwa.
Tuangkan ke dalamnya air rasa malu lalu didihkanlah dengan
api cinta dan masukkan dalam adonan syukur serta
keringkan dengan kipasan harap lalu minumlah dengan sendok pujian (al-hamdu).
Jika engkau
mampu melakukannya pastilah engkau mampu mencegah penyakit dan ujian baik di
dunia maupun akhirat” pungkas dokter itu.
Banyak orang
melakukan dosa dan kedurjanaan kepada Allah karena dia merasa cukup dengan
kemampuan dirinya dan seakan tidak lagi membutuhkan pada apapun, termasuk pada
Sang Mahakaya. Dia beranggapan bahwa dirinya mampu melakukan semua hal dengan
kekuatan dan kemampuannya, dengan potensi dan energi dirinya. Dia merasa bahwa
semua yang dia dapatkan adalah hasil dari kekuatan pikirannya, kemampuan
ilmunya, kejernihan kalkulasinya, kematangan hitungan-hitungannya. Inilah yang
terjadi pada Qarun yang angkuh dengan harta yang dimilikinya yang kemudian
Allah turunkan adzab padanya dengan ditelannya dia oleh bumi yang tidak lagi
suka pada kecongkakan, kesombongan dan keangkuhan yang dia pamerkan sehingga
membuat bumi gerah.
Sumber dosa
lainnya adalah karena orang itu ridak ridha dengan apa yang Allah tetapkan pada
dirinya. Sering kali dari bibirnya keluar keluhan dan bahkan gugatan kepada
Allah kepada Dia tidak memberikan yang “terbaik” menurut pandangannya, menurut
persepsinya, menurut pemikirannya. Dia menyangka bahwa apa yang dia alami saat
ini tidaklah tepat bagi dirinya, tidak pantas untuk dirinya, tidak layak
dialaminya. Dia seakan lebih tahu dari Allah Yang Mahatahu yang mengerti semua
detil perkara yang baik dan yang buruk bagi hamba-Nya. Inilah yang terjadi pada
Qabil tatkala menuntut ayahnya agar dia dinikahkan dengan adik kembarnya
padahal Allah telah menentukan lain untuknya.
Lambat
kembali kepada Allah merupakan penyebab lain dari tidak hancurnya dosa-dosa
yang kita lakukan. Terjadi pengendapan dosa karena seringnya kita menunda
taubat yang seharusnya cepat kita lakukan. Padahal Allah memerintahkan kita
untuk segera merapatkan diri kepada Allah setelah beberapa lama kita telah
menjauhinya. Getarkan hati kita semua dengan sesal atas semua kesalahan yang
kita lakukan. Mereka seakan tidak tahu bahwa Allah senantiasa menerima taubat
hamba-Nya dan Allah sangat senang dengan taubat mereka.
Sebagaimana
yang Allah firmankan :
ألم يعلموا
أن الله هو يقبل التوبة عن عباده ويأخذ الصدقات وأن الله هو التواب الرحيم
Tidakkah
mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan
menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang? (At-Taubah : 104).
Rasa tidak
puas dengan apa yang Allah berikan pada kita merupakan penyakit kronis yang
melahirkan buruk sangka kepada Allah, mendekti kehendak Allah, menyalahkan
Allah. Rasa tidak puas dengan karunia Allah akan mengecilkan rasa syukur kita
pada-Nya dan bahkan suatu saat akan memadamkannya. Lenyapnya rasa qana’ah atas
karunia-Nya akan membuahkan ketamakan dan ketamakan akan melahirkan
kezhaliman-kezhaliman. Dari kezhaliman akan memunculkan kerusakan-kerusakan
yang menghancurkan tatanan kehidupan.
Jika dalam
diri kita telah ada rasa kefakiran, rasa ridha dan qana’ah dan taubat maka
semangat takwa kepada Allah hendaknya kita pupuk terus menerus dan kita bina
dengan seksama. Sebab ketakwaan itu laksana sebuah tanaman yang jika dibina
dengan sebaik-baiknya maka dia akan tumbuh subur dan indah dan jika kita
telantarkan maka ketakwaan itu akan segera layu dan lesu. Ketakwaan bisa kita
sirami dengan dengan rasa takut pada Allah (al-khawf min al-Jalil), mengamalkan
nilai-nilai all-Quran (al-’amal bi al-Tanzil), puas dengan yang ada (al-qana’ah
bi al-qalil) dan mempersiapkan diri sepenuhnya untuk perjalanan akhir :
kematian ( al-isti’dad li yaum al-Rahil). Jadikan takwa terus terus tumbuh
berkembang dan berkelanjutan sampai maut datang menjelang. Hendaknya kita
menggenjot ketakwaan kita sampai pada puncaknya, pada titik kulminasinya.
يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا
وأنتم مسلمون
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam (Ali
Imran : 102).
Ketakwaan
kita akan semakin bermakna mana kala yang menjadi pendorongnya adalah mahabbah
cinta pada Allah. Cinta pada Allah sepenuh jiwa dan hati. Cinta yang tidak lagi
membuatnya berpkir untuk dan rugi dalam menjalankan perintah dan anjuran-Nya.
Semangat cinta yang membakar hatinya akan senantiasa menggerakkannya untuk
senantiasa dekat, merapat dan bergiat untuk merengkuh ridha dan kasih-Nya,
meminum cawan rahmat-Nya dalam setiap langkah-langkah hidup dan goresan
sejarahnya. Rasa cintanya yang menggelegak pada Allah akan senantiasa membuat
hidup terasa hidup, langkahnya demikian pasti menuju Sang Kekasih. Cawan
cintanya senantiasa tumpah ruah dengan air mata takwa, ridha qanah, taubat
syukur, tawakkal dan sabar.
Bagi para
pecinta yang dipikirkan bukan lagi dirinya tapi Dzat yang dicintainya dan dia
larut dalam gelombang kasih-Nya, larut dalam rahmat-Nya masuk dalam dekapan
kasih sayang-Nya.
Ramuan
kefakiran pada Allah+taubat+ridha+qana’ah+takwa+malu+mahabbah cinta+syukur+harap
(raja’) dan tahmid akan membersihkan dosa kita, melelehkan bebukitan kesalahan
kita.
Dan yakinlah
bahwa ramuan itu selain menghapuskan dosa kita dia juga akan menambah vitalitas
keimanan kita semua menambah energi keislaman kita dan memantapkan akar ihsan
kita.
Selamat mencoba! Pastilah kita akan merasan khasiatnya. Dengan hasil jiwa nan segar dan jiwa yang jernih. Dengan dosa yang minim setiap hari.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar