
Apa yang
kita punya, itu adalah kapasitas untuk berbuat baik. Tubuh kita. Panca indera
kita. Adalah peluang untuk berbuat baik. Mata yang kita miliki adalah pintu
untuk memahami pesan-pesan dan kehendak Allah. Begitu banyak bertebaran di
hadapan kita yang dapat direkam mata. Lalu ditransfer ke otak. Kemudian
direnungkan olah hati dan pikiran kita. Maka jadikan perenungan itu jalan
mencapai pemahaman tentang kebesaran Allah dan keagungan perbuatan-Nya. Juga
luasnya ilmu-Nya. Juga besarnya kasih sayang-Nya. Lalu kita pun bersyukur atas
segala karunia itu.
semua
orang bisa menikmatinya. Karena Allah memang menciptakan kita dengan berbeda
kondisi dan keadaan. Maka luluh pulalah perasaan kita. Melahirkan empati kepada
orang-orang yang Allah sayangi dengan kekurangsempurnaan wujud fisiknya. Bukan
karena Allah tidak mampu mencipta semua dengan lengkap sempurna. Bukan pula Ia
tidak bisa berlaku adil memberi penciptaan yang sama kepada setiap makhluk-Nya
tanpa dibeda-bedakan. Semua itu adalah bentuk kemahakuasaan Allah untuk
melakukan apa pun yang Dia kehendaki.
Semua
perbedaan itu adalah ujian bagi kita. Untuk bisa bersabar atas kekurangan dan
keterbatasan. Juga ujian bagi yang lain untuk bisa bersyukur atas kelengkapan
jasmani. Semua terjadi atas kehendak dan kuasa-Nya. Allah Ta’ala berfirman, ”Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada kamilah kamu
dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35).
Telinga yang
kita punyai, adalah jalan untuk meraih kebaikan dan bisa berbuat baik
dengannya. Untuk dapat menangkap isyarat kekuasaan-Nya. Untuk memahami
kebesaran-Nya. Lalu mengagungkan-Nya. Untuk mau mendengar perintah-Nya. Lalu
taat kepada-Nya. ”Dan mereka mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat.”
(Mereka berdoa), ‘Ampunilah kami Ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat
kembali’.” (QS. Al-Baqarah: 285). Jangan seperti orang yang digambarkan
Allah dengan firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka
Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179).
Begitu pula
hidung kita yang dengannya kita bisa bernafas. Juga mencium bau-bauan sehingga
bisa membedakan mana yang harum dan mana yang busuk. Dengan penciuman kita bisa
membedakan apa yang aman dan apa yang berbahaya. Dengannya pula kita bisa
menikmati hidangan dan makanan aneka macam dengan aroma yang masuk melalui
saraf penciuman kita.
Dengannya
kita pun bersyukur, karena Allah memberi kita karunia yang tidak terhingga.
Hidung, selain memperindah penampilan dan mempermanis wajah, juga begitu besar
perannya dalam membantu kita melangsungkan hidup. Maka indera penciuman itu
adalah kapasitas kita untuk bersyukur kepada Allah. Dengan hidung pula kita belajar
bersabar ketika suatu saat ia tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik.
Mungkin karena flu. Atau sebab yang lain. Maka inilah kesempatan kita bersabar
dan berserah diri kepada-Nya. Dan itu pun menjadi kebaikan bagi kita.
Begitu pula
dengan kaki dan tangan kita. Dengannya kita mampu melakukan berbagai pekerjaan
dan kegiatan. Juga menjalankan peran hidup pada profesi kita masing-masing.
Juga melakukan perjalanan dalam rangka mencari ilmu, mencari rizki, maupun
sekadar rihlah meluruhkan penat dan ketegangan selepas kesibukan. Baik
perjalanan yang kita lakukan di daratan maupun di lautan. Dari perjalanan itu
pun kita mendapatkan banyak pelajaran dan kebijaksanaan hidup. Bahwa, Allah
telah merancang dan mengatur alam semesta ini dengan teramat rapi dan teliti.
Tidak ada yang terluput dari pengaturan-Nya. Tidak ada yang terlewat dari
pengawasan-Nya. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS.
Ali ‘Imran: 190-191). Allah juga berfirman, ”Jika Dia menghendaki,
Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan
laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya)
bagi setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur.” (QS.
Asy-Syura: 33).
Apa yang
kita punya adalah kapasitas untuk berbuat kebaikan. Potensi yang kita miliki.
Bakat dan kemampuan yang kita punyai. Keahlian yang kita kuasai. Semua itu
adalah potensi untuk berbuat baik. Kepada sesama manusia. Kepada lingkungan
kita. Kepada bumi yang kita pijak dengan tanah dan tumbuhannya, dengan sungai
dan lautannya, dengan hutan dan pepohonannya. Kepada masyarakat tempat kita
membangun kebersamaan. Kepada negeri tempat kita menata harmoni dan
peradabannya.
Apa yang
kita punya adalah kapasitas untuk berbuat kebaikan. Pekerjaan kita. Lapangan
usaha kita. Profesi kita. Semua itu adalah lahan bagi kita untuk bertanam
kebaikan dan menyemai amal saleh. Dengannya kita bisa berbuat baik. Dengannya
kita bisa berbuat banyak untuk meraih pahala akhirat.
Apa yang
kita punya adalah kapasitas untuk berbuat kebaikan. Teman-teman kita. Komunitas
yang kita bangun. Kerjasama yang kita galang. Adalah kesempatan untuk menambah
kebaikan kita. Kebaikan kepada sesama. Dan berbuat baik bersama-sama.
Kehidupan
yang kita lalui, adalah juga kapasitas dan peluang untuk menambah nilai
kebaikan kita. Pagi dan sorenya. Siang dan malamnya. Hujan dan panasnya. Dingin
dan teriknya. Kenyang dan laparnya. Sehat dan sakitnya. Sunyi dan ramainya.
Adalah kesempatan untuk menambah pundi-pundi kebaikan kita. Besar maupun kecil.
Banyak maupun sedikit. Membahana maupun tak diacuhkan orang. Semua keadaan itu
sesungguhnya merupakan rangkaian peluang demi peluang untuk melakukan kebaikan.
Apa yang
kita punya adalah kapasitas yang kita miliki untuk berbuat kebaikan. Bahkan
dalam kadar yang minimal sekalipun. Tidak perlu menunggu hingga kita
benar-benar kaya untuk berinfak. Tidak pula harus menunggu sampai jadi seorang
ustadz untuk mengajak orang lain kepada keshalihan. Tidak perlu menunggu jadi
tokoh untuk membuat kebiasaan baik di lingkungan kita. Apa yang kita punya
adalah kapasitas yang kita miliki untuk berbuat kebaikan. Mengapa tidak kita
optimalkan untuk memperbanyak kebaikan dan amal shalih?
Apa yang
kita punya adalah kapasitas yang kita miliki untuk berbuat kebaikan. Oleh
karena itu, segala tambahan kebaikan yang kita terima adalah kesempatan untuk
menambah kebaikan yang bisa kita lakukan. Menambah kebaikan yang bisa kita
berikan kepada orang lain, lingkungan, dan kepada kehidupan kita.
Pertambahan
usia adalah tambahan kapasitas untuk semakin memperbanyak kebaikan. Menambah
rasa syukur bahwa Allah memberi kita kesempatan untuk menghirup udara dunia.
Menambah rasa takut dan harap kepada-Nya sehingga semakin berhati-hati
menjalani sisa umur kita. Semakin bersemangat untuk memperbanyak meluangkan
waktu bersama Allah. Karena kita tidak tahu pada detik yang mana jarum jam
kehidupan kita berhenti. Dan tak beranjak lagi walau hanya pada satu detik
berikutnya.
Bertambahnya
anak adalah tambahan kesempatan untuk memperbanyak kebaikan kita. Kesempatan
yang lebih banyak untuk mendidik dan mencetak kader dakwah dan aktivis
keshalihan. Juga peluang yang lebih banyak untuk nafkah yang kita berikan
kepada mereka. Juga, tentu, semakin membuat kita memperbaiki sikap dan perilaku
karena semakin bertambah orang yang akan sangat mengenal kita dan akan meniru
keteladanan kita.
Kenaikan
pangkat dan posisi kepemimpinan adalah tambahan kesempatan untuk memperluas
jangkauan kebaikan kita. Memperbesar skala kebaikan yang bisa kita wujudkan.
Memperluas jaringan keshalihan yang bisa kita rajut. Untuk semakin mendekatnya
keberkahan Allah bagi masyarakat kita.
Tambahan
harta, itu adalah tambahan kapasitas untuk bisa berbuat kebaikan lebih banyak.
Semakin banyak dana yang bisa kita lokasikan pada pos-pos kebaikan. Semakin
banyak sedekah dan santunan yang bisa kita berikan. Semakin banyak proyek
kebajikan yang bisa kita jalankan. Semakin banyak gagasan-gagasan kebaikan yang
dapat diwujudkan. Semakin banyak jalur-jalur kebaikan yang bisa kita
kembangkan. Inilah makna kehidupan yang berkah. Kehidupan yang ditandai dengan
semakin bertambahnya kebaikan yang bisa kita raih dan kita wujudkan.
Apa pun yang
kita punya, sejatinya adalah kapasitas untuk berbuat kebaikan. Maka, ketika
kita berkeinginan menambah kepemilikan kita atas berbagai sarana hidup,
niatkanlah ia untuk menambah kapasitas kebaikan kita. Tambahkanlah alasan itu
pada setiap keinginan dan rencana kita untuk memiliki tambahan itu. Niatkan ia
sebagai jalan untuk menambah kemampuan kita dalam berbuat baik. Bukan semata
menikmati hidup. Apalagi mengikuti gaya hidup. Karena jika itu yang terjadi,
betapa sayang. Kenikmatan yang kita rasakan di dunia bukan menjadi jalan untuk
bisa mengecap nikmatnya kehidupan akhirat.
Maka,
perbuatlah kebaikan lebih banyak seiring bertambahnya kapasitas kita. Dalam
segala hal. Agar ia menambah amal kebajikan kita. Agar ia semakin memperbanyak
pahala kita. Di sisi Allah ’Azza wa jalla. Karena semua tambahan karunia
itu akan diminta pertanggungjawabannya di hari pengadilan kelak. Ketika Allah
mempertanyakan tentang apa yang kita miliki. Ketika Allah mempertanyakan
tentang apa yang kita nikmati di sini. ”Kemudian kamu benar-benar akan
ditanya pada hari itu tentang kenikmatan-kenikmatan itu.” (QS.
At-Takaatsur: 8).
(Materi
Khidmat Ilmiah H. Akbar pada acara Manakiban di Majelis Dzikir Kasyful
Mahjub (kediaman H. Alan Ramlan) Kayumanis Bogor, Senin 3 Pebruari
2014).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar