Manaqib - Di antara hikmah yang selalu melekat pada setiap musibah adalah pertanyaan,
“Apa kesalahanku sehingga cobaan ini menimpa?” Selanjutnya, memang kepekaan
hatilah yang menentukan jawab dan tindakan yang akan diambil. Maka
berbahagialah yang segera merundukkan diri di hadapan keagungan Allah , serta
berlirih-lirih mengadukan kelemahan, kesilapan, dan kehinaan.
“Allah menciptakan manusia”, demikian Dr. ‘Abdul Karim Zaidan dalam Al
Mustafaad min Qashashil Quran, “Dengan menggariskan baginya bahwa berbuat
keliru dan jatuh dalam kesalahan adalah perkara yang mungkin, bahkan niscaya.”
Tapi dengan kasihNya, Allah juga membukakan pintu agar dosa-dosa menjadi jalan
kembali dan pelarian suci, tempat bersimpuh dan sandaran berteduh, mahligai
yang syahdu bagi bermesra, meminta, dan beroleh karunia.
Maka demikianlah Yunus, ‘Alaihis Salam. Di perut ikan Nun, dalam gelap yang
mencekik hingga ke hati, dia menangisi kelemahannya, menekuri hari-harinya, dan
mengaku telah berbuat aniaya.
“La ilaha illa Anta, subhanaKa, inni kuntu minazh zhalimin. Tiada
Ilah sesembahan haq selain Engkau. Maha Suci Engkau; sungguh aku termasuk orang
yang berbuat aniaya.” (QS Al Anbiya’ [21]: 87)
Doa Yunus, betapa sederhana. Tapi indah dan mesra. Akrab dan hormat. Takzim
dan syahdu. Demikianlah pada pinta para Nabi di dalam Al Quran, kita menemukan
lafazh doa, ruh tauhid, sekaligus keindahan adab. Hari ini, ketika kita
disuguhi fahaman antah berantah bahwa doa harus dirinci-rinci, dibayang-bayangkan,
dan dijerih-jerihkan; seakan dengan demikian ia lebih cepat dikabulkan, mari
berkaca pada doa Yunus.
Tak ada di sana pinta untuk mengeluarkannya dari perut ikan, apalagi desakan
agar segera. Tak ada di sana rajuk-rajuk manja, hiba-hiba memelas, apalagi
kalimat perintah yang pongah. “Doa Dzun Nun, ‘Alaihis Salam”, demikian menurut
ibn Taimiyah, “Adalah di antara seagung-agung doa di dalam Al Quran.” Doa itu
mengandung 2 hal saja, merunduk-runduk mengakui keagungan Allah, dan
berlirih-lirih mengadukan kelemahan diri.
“Berdoalah menyeru Rabbmu dengan tadharru’ (merendahkan diri) dan khufyah
(memelankan suara). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” (QS Al A’raaf [7]: 55)
Maka doa Yunus, yang tidak rinci, yang tidak dibayang-bayangkan, bahkan tak
tergambar apa yang dipintanya, dijawab Allah dengan limpahan karunia yang
membawa kejayaan. Dia hanya mengakui ketakberdayaan dan laku aniayanya pada
diri sendiri; maka Allah yang Maha Kuat, Maha Gagah, Maha Perkasa, mengulurkan
pertolonganNya, pembelaanNya, dan bantuanNya.
Yunus bukan hanya dikeluarkan dari perut ikan. Dia bahkan tak perlu payah
berenang, karena diantar oleh sang ikan sampai tepian. Dan tempatnya
didamparkan bukanlah sembarang daratan. Imam Ibnu Katsir mengetengahkan riwayat
dalam tafsirnya dari Ka’b Al Ahbar dan Ibn ‘Abbas, bahwa Yunus dibaringkan di
hamparan tanah yang kemudian ditumbuhi suatu tanaman dari jenis labu.
“Kemudian Kami lemparkan Yunus ke daratan kering, sedang dia dalam keadaan
sakit. Kemudian untuknya Kami tumbuhkan pohon dari jenis yaqthin.” (QS: Ash
Shaaffaat [37]: 145-146)
Selazimnya seseorang yang terkurung dalam gelap di kedalaman laut selama
waktu yang panjang, maka Yunuspun sakit. “Keadaan beliau seumpama burung yang
kehilangan seluruh bulunya”, ujar Ibn Mas’ud menafsir. Adapun menurut Ibn
‘Abbas, “Beliau bagaikan bayi yang baru dilahirkan; ringkih, tak terlindung,
rumih, dan rentan.”
“Pohon yaqthin”, demikian masih menurut Ibn ‘Abbas, “Adalah qar’u, dari
jenis labu yang tak disukai lalat dan serangga sehingga dia menaungi Yunus
hingga terjaga.”
Ketika Yunus siuman, secara naluriah dia menggapai buah yang ada di dekatnya
kemudian memakannya. Buah tanaman itu, yang mengandung air, gizi, dan zat-zat
bermanfaat, amat mudah dicerna oleh tubuhnya. Khasiatnya menjalari seluruh
pembuluh dan sendi, merasuki semua sumsum dan pori, memulihkan tenaga dan
kesentausannya. Sakit, payah, dan terganggunya faal badan akibat berpuluh hari
di dalam perut ikan dan di dasar lautan, kini pulih sehat dan bertambah afiat.
Nabi Yunuspun bugar kembali, bersemangat, dan berjanji pada Allah untuk
nanti teguh, istiqamah, dan tak menyerah dalam berdakwah kepada kaumnya; apapun
yang akan terjadi di hadapannya. Tetapi alangkah takjub penuh syukurnya dia.
Sebab ketika kembali ke Ninawa, seluruh kaumnya justru telah beriman pada Allah
. Jumlah mereka, lebih dari 100.000 orang kiranya.
Betapa berkah doa Yunus. Bukan hanya menjadi karunia keselamatan dirinya,
doa itu bahkan menjadi anugrah hidayah bagi begitu banyak manusia dari kaumnya.
Dakwah Yunus berjaya, tepat pada saat dia merasa dan mengaku bahwa dirinya
berdosa di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Dakwah Yunus berjaya, ketika dia
mengakui dirinya aniaya dan hatinya tunduk memuliakan Allah ‘Azza wa Jalla.
Dakwah Yunus berjaya, ketika dia merasa tak berdaya.
Di lapis-lapis keberkahan, berjayalah hamba yang merasa tak berdaya
tanpaNya. Maka Maha Suci Dzat yang menjadikan berhina padaNya sebagai
kemuliaan, berfaqir kepadaNya sebagai kekayaan, tunduk padaNya sebagai
keluhuran, dan bersandar padaNya sebagai kecukupan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar