Manaqib - Bulan rahmah dan maghfirah telah berlalu. Kepergiannya
diiringi dengan berbagai sambutan dari para pecintanya; ada yang teramat
menyesal dan bersedih karena merasa belum memaksimalkan bulan Ramadhan, ada
pula yang bersyukur karena telah mampu menjalani serangkaian target yang telah
disusun selama bulan Ramadhan.
Apa pun perasaan yang kita miliki, tetaplah kita harus mensyukuri bahwa Idul
Fitri adalah momentum penyucian hati setelah sebulan lamanya kita dilatih untuk
menahan dan menyucikan diri dari segala hasrat duniawi; makan, minum, termasuk
mengelola emosi. Idul Fitri menjadi kesempatan terbaik untuk sama-sama
membuka hati, memberi dan meminta maaf, serta menebarkan sifat belas kasih.
Meski memaafkan dan meminta maaf tak sebatas hanya pada saat perayaan Idul
Fitri, momen perayaan ini kerap dispesialkan untuk berbagi dan memohon maaf.
Tak ayal, ucapan yang sering kita dengar atau bahkan sering kita lontarkan
ialah, ‘Mohon Maaf Lahir dan Bathin’.
Tak salah memang, memberi maaf terlebih meminta maaf adalah perilaku terpuji.
Tak hanya bermaaf-maafan, Idul Fitri menjadi momen berharga untuk kembali
merajut silaturahim bersama rekan dan sanak saudara.
Silaturahim (menyambung kasih sayang), atau yang justru sering disebut dengan
silaturahmi adalah perbuatan baik yang dianjurkan Rasulullah SAW. Namun,
hakikat silaturahim tak cukup dengan lahir (zahir/tampak), berupa berjabat
tangan atau bertatap wajah. Hendaknya silaturahim bathin (hati) —yang sadar
untuk meminta dan memberi maaf—benar-benar disadari, agar segala noda-noda di
hati berupa iri, dengki, hasad, dendam, melebur hancur bersamaan dengan
silaturahim tersebut.
Allah Swt berfirman, "Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik
dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si
penerima). Allah Mahakaya lagi Mahapenyantun." (QS al-Baqarah: 263)
Secara tersirat, Allah menyebutkan dua tingkatan kebajikan dalam ayat ini,
Pertama, perkataan yang baik. Berkata yang baik adalah salah satu usaha hifdz al-lisan (menjaga lisan) adalah hal yang
benar-benar dianjurkan dalam Islam, sehingga Rasulullah SAW pun bersabda,
‘Berkatalah yang baik, atau (jika tidak bisa) lebih baik diam,’.
Dalam hadis ini Rasulullah mengajak umatnya untuk mampu berkata baik dan
membuahkan manfaat bagi sesama, bukan perkataan penuh dusta, caci-maki, dendam
dan amarah. Kedua, kebajikan dengan memberi maaf dan ampunan kepada orang yang
telah berlaku buruk kepada kita, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan.
Nah, yang terakhir inilah yang disadari maupun tidak, sulit dilakukan.
Meminta maaf memang terkadang bukanlah perkara yang mudah, namun, bukan berarti
kita tidak mampu melakukannya. Terkadang pula, perasaan tinggi hati kerap
merusak niat diri sehingga kita malu mengutarakan ‘maaf’ terlebih dulu,
padahal, jika kita cermati bersama, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal
seorang Muslim menjauhi kawannya lebih dari tiga hari. Jika telah lewat waktu
tiga hari itu, maka berbicaralah dengan dia dan berilah salam, jika dia telah
menjawab salam, maka keduanya bersama-sama mendapat pahala, dan jika dia tidak
membalasnya, maka sungguh dia kembali dengan membawa dosa, sedang orang yang
memberi salam telah keluar dari dosa karena menjauhi itu.” (HR Abu Dawud)
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, “Pintu-pintu surga akan dibuka pada
hari Senin dan Kamis, kemudian Allah akan memberi ampunan kepada setiap orang
yang tidak menyekutukan Allah sedikit pun; kecuali seorang laki-laki yang ada
perpisahan antara dia dengan saudaranya. Maka berkatalah Allah: ‘Tangguhkanlah kedua
orang ini sehingga mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga
mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sehingga mereka berdamai.” (HR
Muslim)
Semoga kita tergolong menjadi hamba-Nya yang mampu menyambung tali kasih sayang
ikhlas dari hati, sehingga mudah untuk memberi dan meminta maaf dengan tulus.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar