Beliau berkata: “Saya hanya kasihan pada keluarganya. Bagaimana menderitanya anak dan istrinya memiliki pemimpin keluarga yang ibadahnya kepada Tuhannya tidak baik seperti itu.” Kisah ini secara implisit menunjukkan betapa penting peran kepribadian seorang ayah dalam membangun rumah tangga yang indah dan bahagia.
Tiadanya (absennya) ayah tidak selalu berarti meninggalnya sang ayah atau bercerainya kedua orang tua dan dibesarkannya hanya oleh ibu, melainkan bisa juga bermakna bahwa anak mungkin saja tinggal bersama kedua orang tuanya tetapi sang anak tidak pernah mendapatkan perhatian sang ayah.
Sibuknya ayah dalam dunia kerjanya dan nihilnya perhatian pada perkembangan pendidikan akal dan jiwa anak pada saatnya akan menyebabkan rapuhnya ikatan batin ayah dan anak. Bukan tidak mungkin bahwa inilah yang akan menyebabkan robohnya suatu rumah tangga.
Sudah lazim dalam masyarakat modern bahwa ayah diberikan peran khusus pengembangan ekonomi keluarga sementara ibu bertugas penuh memperhatikan perkembangan pendidikan anak. Ini adalah sebuah kelaziman yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kaidah keluarga dalam Islam di mana ayah dan ibu bersama-sama bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang perkembangan pendidikan anak.
Kisah kepedulian manusia dan keluarga pilihan seperti Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, ‘Imron, Luqman Al-Hakim, dan Nabi Muhammad adalah referensi baik untuk dibaca dalam konteks ini.
Kondisi yang juga memperihatinkan adalah tiadanya ibu (mother) dalam keluarga. Anak yang dibesarkan oleh single-father, terutama anak-anak puteri akan tumbuh berkembang terlalu cepat dan pada akhirnya juga akan mengalami gangguan tahapan perkembangan jiwa.
Ketika secara fisik seorang ibu itu ada tetapi secara emosional (perhatiannya) tidak ada, maka akan memiliki pengaruh pada persepsi dan perilaku anak pada perempuan pada masa dewasanya kelak.
Yang paling memperihatinkan adalah tiadanya perhatian emosi ayah dan ibu secara bersamaan dalam sebuah rumah tangga. Fenomena seperti ini bukanlah sesuatu yang asing pada zaman ini, yakni ketika ayah dan ibu menjadi pribadi yang sama-sama sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sehingga membiarkan anaknya dididik oleh “lingkungannya” masing-masing yang belum tentu mengarahkan pada jalur yang benar.
Sangat banyak anak-anak yang tubuhnya dibesarkan oleh “pekerjaan” ayah ibunya, sementara akal dan jiwanya dibesarkan oleh “pendidikan” jejaring sosial, teman dan orang lain yang tidak selalu menawarkan hal-hal positif.
Ayah dan ibu adalah markas utama pendidikan cinta dan kasih sayang serta madrasah pertama yang mengajarkan prinsip-prinsip layak untuk hidup sebagai manusia normal. Ayah dan ibu adalah sekolah kepribadian yang paling diharapkan, ditaati dan dicontoh oleh seorang anak.
Pernyataan ini didukung oleh hadits Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa anak adalah rahasia orang tuanya. Disebut rahasia orang tuanya karena apa yang dilakukan oleh anak sesungguhnya adalah cerminan dari apa yang telah diajarkan oleh orang tuanya.
Hilangnya peran pendidikan emosional dan spiritual dari ayah dan ibu dalam sebuah rumah tangga hanya akan menjadikan rumah tangga itu sebagai “bangunan rumah yang memiliki tangga”. Bukan sebagai istana kebahagiaan yang dihuni oleh jiwa-jiwa penuh cinta dan kasih sayang yang siap menjadi pemeran kehidupan yang propengabdian, kebajikan, dan keindahan. Rumah tangga akan roboh tanpa adanya keteladanan ayah dan ibu.
Kesimpulan di atas adalah didasarkan pada fakta pada umumnya. Bahwa dalam kenyataannya ada beberapa pengecualian atau eksepsi, misalnya adanya anak sukses yang dibesarkan dari keluarga broken home, adalah fakta-fakta yang bisa dijelaskan dengan mencermati faktor-faktor yang menjadikannya berbeda dari yang biasanya.
Nabi Isa yang hanya dibesarkan oleh seorang Ibu, Siti Maryam, tanpa kehadiran ayah dan juga Nabi Muhammad yang dibesarkan tanpa bertemu ayah dan perhatian utuh seorang ibu adalah pengecualian yang bisa dijelaskan dengan baik.
Menghadapi kenyataan keluarga modern seperti disebut di atas, Amr Khalid dalam kitabnya Al-Jannah Fi Buyutina (Surga Ada di Rumahku) memberikan beberapa saran yang cukup efektif menguatkan dan membangun kembali rumah tangga kita.
Pertama, melakukan ibadah secara bersama-sama.
Kedua, menanamkan di benak semua anggota keluarga bahwa keluarga adalah institusi termahal yang dimiliki bersama.
Ketiga, perlu diadakan rekonsiderasi peran orang tua dalam pendidikan keluarga.
Keempat, lakukan setiap tugas keluarga atas nama cinta. Kelima, seorang ibu harus tahu bahwa gelar ibu adalah gelar termahal dalam kehidupan semua manusia. Keenam, biasakan menggunakan bahasa hati sebelum bahasa akal. Ketujuh, adanya saling menghormati dan perlunya menyusun rencana bersama. Kedelapan, bangunlah relasi, koneksi dan interelasi yang positif; dan kesembilan, jadikan takwa sebagai senjata unggulan.
Ketika rumah tangga sudah dibangun atas dasar prinsip itu maka keluarga tersebut akan menjadi keluarga surga seperti yang disebutkan dalam QS Al-Ra’d: 23-24: “Surga-surga ‘And yang mereka masuki bersama orang-orang yang baik dari orang-orang tua mereka, istri-istri mereka, anak-anak keturunan mereka, sedang para malaikat masuk ke tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan) ‘Selamat bagimu atas kesabaranmu’, maka alangkah indahnya tempat kesedahan itu.”
Bagian akhir tulisan ini mari kita renungkan potret keuarga berikut: Seorang ayah dan ibu menyimpan emas permata dalam kotak yang dikunci, kemudian diletakkan dalam lemari yang dikunci yang kuncinya dibawa kemanapun pergi agar tak seorangpun menyentuh dan mengubah posisi atau bahkan mengambil emas permata itu.
Bertahun-tahun kebiasaan ini dilestarikannya. Sementara itu anak-anaknya yang masih kecil dititipkannya kepada pembantu, mulai dari memandikan, menyediakan makan dan mempersiapkan alat-alat sekolahnya. Hampir semua urusan anak-anaknya diambil alih pembantu, sementara ayah dan ibunya sibuk mencari uang untuk masa depan anak-anaknya kelak.
Pertanyaannya adalah:
Pertama, manakah yang lebih berharga antara emas permata dan anak kandungnya?.
Kedua, manakah yang lebih dipentingkan untuk masa depan anak, kepribadian yang ditanamkan pada anak semenjak kecil apa uang yang dikejar mati-matian itu?
Jawaban dua pertanyaan ini sungguh akan menjadi bahan penting evaluasi kita sebagai orang tua dalam mendidik dan membesarkan anak kita.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar